Mohon tunggu...
Aji Muhammad Iqbal
Aji Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Pantang meninggal sebelum berkarya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Idul Fitri di Tengah Pandemi dan Kabar Duka Palestina

14 Mei 2021   13:29 Diperbarui: 25 Mei 2021   23:57 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aji Muhammad Iqbal

Genap 30 hari, masyarakat muslim Indonesia menjalankan ibadah puasa di bulan penuh berkah, yaitu bulan suci Ramadhan. Selama sebulan penuh, mereka rela menahan rasa lapar dan dahaga, serta melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Tidak lain hanya untuk menggapai ridho-Nya. 

Kini, hari raya Idul Fitri itu telah tiba. Pemerintah, melalui sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama bersama sejumlah pihak, seperti perwakilan dari MUI dan Ormas-ormas Islam serta yang lainnya, resmi menetapkan bahwa Idul Fitri 1442 H jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021.

Masuk 1 Syawal, takbir menggema dimana-mana. Ribuan bahkan jutaan masyarakat muslim Indonesia merayakan kemeriahan hari yang sangat istimewa itu dengan cara yang berbeda. Semua merasakan kegembiraan tak terhingga di hari raya. Wajar saja, karena lebaran merupakan bagian dari wujud klimaks setelah 30 hari lamanya kita berpuasa, serta menjalankan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah di dalamnya.

Nilai-nilai universal dari zakat dan hari raya tentu ada. Hal itu menjadi penegas, bahwa kebahagiaan di hari kemenangan itu tidak serta merta hanya dirasakan oleh orang kota, orang kaya, golongan konglomerat, kaum borjuis dan para penguasa. Melainkan juga mesti dirasakan dan dinikmati oleh orang desa, kalangan fakir miskin, kaum kelas bawah dan mustadl'afin. Namun Kebahagiaan di hari raya Idul Fitri itu sekarang agak sedikit berkurang dengan tahun-tahun sebelumnya. Semenjak Pandemi menyerang, semua kegiatan terpaksa harus dibatasi. Tradisi mudik ke kampung halaman untuk silaturrahim kepada orang tua dan sanak saudara terpaksa dijeda, sejak adanya larangan mudik oleh pemerintah. 

Alasan pemerintah sangat sederhana. Bahwa silaturrahmi di hari raya Idul Fitri tidak melulu bicara soal tradisi, namun harus juga memperhatikan sisi keselamatan yang utuh. Alih-alih ingin membahagiakan orang tua dan sanak saudara, malah berbalik jadi mendatangkan malapetaka. Tentu kebijakan pemerintah ini sangat berat untuk kita terima. Tapi apalah daya, memang seperti ini faktanya. Kita harus memahami dan rela menerima untuk sementara waktu, bertemu dan bertegur sama dengan orang tua, sanak saudara melalui sosial media.

Selain kebahagiaan kita yang berkurang karena tidak bolehnya mudik oleh pemerintah, kita juga disedihkan dengan kabar duka saudara-saudara kita di Palestina. Kondisi ibadah puasa mereka, tidak setentram dengan kondisi ibadah kita di Indonesia. Pasukan Israel 'laknatullah 'alahi', melakukan agresi terhadap muslim Palestina yang sedang menjalankan ibadah shalat tarawih di Masjid Al-Aqsha. Sebelumnya, kekejian Israel terhadap warga Palestina juga terjadi di daerah Sheikh Jarrah, Yerussalem. Mereka melakukan tindakan apartheid, yaitu salah satu cara kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel secara terstruktur, sistematis dan masif untuk mempertahankan dominasi Israel dari kelompok ras yang lainnya, termasuk warga Palestina yang diusir paksa dari daerah tersebut.  

Hingga kini, kabar duka itu masih terus menimpa saudara kita. Situasinya kian mencekam, karena kondisi konflik yang kian memanas. 

Mengingat hal itu semua, mari hadirkan kesalehan sosial kita di hari raya Idul Fitri ini. Hari dimana kita kembali kepada fitrahnya (kesejatian). 

Salah satu manifestasi kesalehan sosial sebagai ciri kita kembali pada fitrahnya (kesejatian) adalah dengan cara menyelipkan doa pada hari-hari kita, terkhusus untuk pandemi yang belum berakhir serta duka saudara kita di Palestina. Karena, semua otoritas penuh untuk mengatasi pandemi dan mengobati luka dan duka saudara kita di Palestina hanya dimiliki oleh Tuhan sang pemilik alam semesta. Sedang untuk memohon dan memanggil-Nya, tak lain hanya dengan doa. Mari berdoa dan jangan menyerah. Hari kemenangan itu mesti milik kita semua.

Banjar, 13 Mei 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun