Mohon tunggu...
ajay santoso
ajay santoso Mohon Tunggu... -

Laki-laki Jombang,02 Pebruari 1976 Jl.anggrek 30 Mojowangi, Mojowarno, Jombang, JATIM, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kriteria Guru Profesional

2 Januari 2010   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 4826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ini adalah artikel yang di kirim seorang teman yang saya dapat dari Facebookmania. Profesinya sebagai Guru, yang punya harapan menjadi guru yang baik dan di sukai anak didiknya. Cita-cita yang sederhana tapi sungguh mulia. Pada dinding Facebook saya, artikel beliau ini saya komentari ; "Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku..dan guruku yg mendidikku darahnya masih beku dalam proses sertifikasi..karena mereka lebih mendahulukan Century..karena banyak uangnya..dari pd pusing mikir nasib guru, karena guru di nilai pelit ilmu, waktu sekolah nggak di ajari ilmu korupsi..jadi mereka dendam, gitu lho..ha..ha..ha..". Beliau menjawab " Ha...ha...ha..betul juga ya..."

Sungguh, bukan saya mengejek apalagi melecehkan soal nasib guru yang sampai saat ini masih dalam proses. Entah proses apa yang di godok dan di olah pihak terkait dengan janjinya mensejahterakan para guru... Profesional di tuntut, tapi nasibnya jadi Kentut... Saya sudah sarankan untuk ikut Kompasiana karena beberapa artikel yang masuk ke Facebook saya juga menggugah hati. Tapi beliau kurang yakin, dan mengijinkan saya untuk mengirimnya bila berkehendak.

Inilah tulisan Bapak Zainal Arifin yang berulang tahun tepat dengan di awal tahun, yaitu 01Januari, yang mungkin mewakili teman-teman seprofesinya di seluruh tanah air tercinta ini, Indonesia.

Ketidakberanian kita barangkali disebabkan karena begitu kompleksnya permasalahan guru di tanah air tercinta ini. Telah ada begitu banyak diskusi, seminar, lokakarya, dan pertemuan ilmiah lainnya yang membicarakan betapa rumitnya permasalahan guru di negri ribuan pulau ini. Guru sering berada pada posisi yang sangat dilematis karena pada satu sisi menjadi tumpuan harapan keberlangsungan masa depan anak bangsa ini dalam bidang pendidikan di masa yang akan datang, namun pada saat yang sama guru sulit keluar dari permasalahan klasik yang melilit mereka, seperti kesejahteraan, penghargaan, dan isu tentang profesionalisme.
Menurut saya, masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius diantara permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru "belum percaya diri" menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti "tak bisa" menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para profesional di bidang yang lain.Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi idealnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004).
Kalau kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat lainnya, seperti dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim diketahui bahwa untuk menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing. Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jaminan bahwa yang bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana untuk menjadi seorang guru di negeri ini? Di Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak sarjana kita setelah gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap "lebih baik".
Kemudian, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang lulus dari LPTK.
Apalagi kalau kita membandingkannya dari sisi kesejahteraan, maka perbedaannya akan semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp. 60.000 per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?

Harapan Di Balik UU Nomor 14/2005
Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian muncul. Banyak pihak berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi tonggak bersejarah untuk bangkitnya profesi ini menjadi profesi mulia yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah profesi yang tak hanya dihargai dengan ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi sebuah profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya.
Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.
Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru ini, pemerintah telah merencanakan akan melakukan program sertifikasi guru dalam waktu dekat. Seperti yang dikatakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal bahwa pemerintah sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk sertifikasi para guru, dan diharapakan dalam enam bulan telah keluar PP dan telah ditunjuk LPTK penyelenggara sertifikasi. Setelah itu, dilangsungkan pendidikan profesi serta uji sertifikasi bagi para guru yang sudah sarjana (Kompas, 27/02/2006)
Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa yang meyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri maupun swasta.
Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang-undang yang menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran negara ke sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa kepada kualitas dunia pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru yang profesional secara khusus.
Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya, maka diyakini masyarkat tidak akan lagi melihat "sebelah mata" kepada profesi ini. Efek dominannya adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak.

Wallahu'alam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun