Mohon tunggu...
Aisyah
Aisyah Mohon Tunggu... -

mahasiswi. penulis. penjelajah alam.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cinta Indonesia

25 November 2013   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:42 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesia, sebuah negeri dengan segala keelokan dan pesona. Negeri di tenggara Asia yang patut dipertanyakan: seberapa besar cinta rakyatnya kepadanya? Aku mungkin hanyalah seorang biasa, tapi aku akan mencoba menggambarkan seberapa besar cintaku kepada negeri ini melalui rangkaian kata sederhana ini. Atau mungkin, aku akan mencoba membuat kalian tahu bagaimana caraku mencintai negeri ini, mencintai baik dan buruknya.
Aku terlahir di negeri ini. Aku tumbuh dan menghirup udara di negeri ini, begitu juga sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia yang lain. Ketika aku lahir, Indonesia masih dipimpin seorang “Bapak Pembangunan” yang katanya memberikan banyak perubahan dan kemajuan, tapi juga banyak meninggalkan hutang bagi Indonesia. Tapi aku tak peduli, aku mulai merasakan cinta pada negeri ini mulai tumbuh sejak hari pertama aku melihat dunia. Inilah negeriku, tempat hidungku menghirup udara pertamanya atau tempat tangisku pertama kali pecah. Dan aku mencintainya, dengan tertahan di rumah sakit karena ayah belum bayar administrasi kelahiran.

Semakin besar, aku semakin mengerti. Inilah negeriku, Indonesiaku. Negeri yang berasaskan Pancasila, yang telah setengah mati kuhafalkan ketika duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Aku mencintai Indonesia dengan mengikuti upacara bendera setiap hari Senin di sekolah. Bagiku, untuk pertama kali dalam hidupku, aku menghormati sebuah benda seperti aku menghormati ibuku. Maka begitulah salah satu caraku mencintai negeriku, dengan hormat pada benderanya dan menyanyikan lagu kebangsaannya. Meskipun kini aku tahu, kebanyakan orang tak menghormati Sang Merah Putih lagi. Padahal dulu pahlawan kita telah susah payah mengibarkannya di Surabaya dan Ibu Fatmawati telah dengan sabar menjahitnya.
Sekolah dasar menjadi pondasi kuat bagiku untuk tetap mencintai negeriku. Pelajaran-pelajaran yang ada di SD memaksaku untuk mengingat selalu hal-hal menyangkut negeriku ini. Yang pertama dan sejak dulu tak pernah berubah adalah ibu kota Negara, Jakarta. Kota yang kini penuh dengan segala kegemerlapan, kecarut-marutan, dan ketidakseimbangan penduduk. Satu-satunya ibu kota Negara yang kutahu telah diramalkan akan tenggelam tahun 2011 nanti. Namun aku cinta pada Jakarta, karena disitulah seorang pemimpin negaraku tinggal dan mengatur negeri ini.
Yang kedua, jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Saat sekolah dasar dulu, aku menghafal hanya ada 29 provinsi, kini bertambah menjadi 34 provinsi. Entah karena Indonesia semakin luas atau semakin banyak perpecahan di dalam provinsi-provinsi yang telah ada. Tapi meskipun pilihan kedua yang benar, aku tetap cinta pada Indonesia dengan provinsinya yang kebanyakan.
Yang ketiga mengenai Indonesia sebagai Negara kepulauan. Ketika mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau, aku berangan-angan ingin menjelajahi pulau-pulau yang ada di negeri ini, berenang di laut-laut negeri ini, atau sekedar menginjakkan kaki di pasir pantai pulau-pulau yang indah. Namun miris bila harus menghitung kembali jumlah pulau yang ada di negeriku saat ini. Mungkin sudah tidak ada 17.000 lagi, mungkin sudah tenggelam karena volume air laut yang terus naik atau mungkin sudah ‘hilang’ karena dijual oleh negeri ini sendiri. Pedih hati membayangkannya, ini sama seperti seorang ibu yang menjual anaknya sendiri. Tapi mau bagaimana, aku tetap mencintai Indonesia meskipun sejujurnya aku takut kelak anak cucuku tak lagi dapat tinggal di Indonesia.
Yang kutahu melalu buku pelajaran, Indonesia adalah negeri yang elok akan pesona alamnya. Sungai-sungai jernih, persawahan nan hijau membentang, hutan-hutan lindung yang asri, dan gunung-gunung yang masih jarang terjamah memenuhi pandangan mataku saat aku masih sekolah menengah pertama. Tapi ternyata, masa SMP membuatku mengenali negeriku bukan hanya dari buku, tapi juga dari kenyataan yang ada. Maka begitulah aku kala itu. Semakin jelas tergambar di mataku, betapa Indonesiaku ternyata tak seelok yang pernah kubayangkan. Aku mulai merasa alam pun mulai berontak, mulai meraung minta pertanggungjawaban kami, dan akhirnya menunjukkan kemarahannya padaku, pada negeriku. Banjir menghalangi segala pergerakan kami, angin kencang dan pohon-pohon tumbang, dan yang terparah tsunami di Aceh yang memaksa negeriku kehilangan banyak jiwa penduduknya. Negeriku mungkin tidak salah sepenuhnya dalam hal ini. Kesalahan sesungguhnya bersumber dariku, dari rakyat negeriku sendiri. Tapi negeriku harus menanggung semuanya. Indonesiaku harus menangis. Karena Indonesiaku sedang bersedih, aku berdiri tegar di atasnya dan tetap mencintainya, agar sekedar membuatnya tenang.
aku cinta padamu
Indonesia
sejak kaki-kakiku masih berlari di taman kanak kanak
sejak pak Gusdur masih di Istana
sampai pak SBY di Istana.
aku mencintaimu
Indonesia
sejak dulu kau masih hijau
sampai kini kau tinggal asap
sejak dulu kau masih luas
sampai kini kau mulai menyempit.
aku cinta padamu
Indonesia
sejak belum ada KPK
sampai ada KPK
sejak ada korupsi
sampai masih saja korupsi.
aku mencintaimu
Indonesia
sejak padi dan sawah membentang
sampai bangunan apartemen menjulang
sejak harga bensin mahal
sampai kini tetap mahal.
aku cinta padamu
Indonesia
sejak orang tuaku punya tambak udang

sampai mereka kekurangan uang
sejak aku mudah masuk SD
sampai aku pengap masuk SMA.
aku mencintaimu
Indonesia
sejak kau telah merdeka

sampai kau terjajah lagi.
aku cinta padamu
Indonesia

Semakin dewasa dan menginjakkan kaki di jenjang sekolah tertinggi, aku jadi sadar betapa banyak rakyat yang tidak mencintai Indonesia seperti diriku. Aku dapat merasakan keegoisan di negeriku. Banyak pihak yang ternyata hanya ingin mengambil untung dari negeriku, bukan memajukan negeriku. Bahkan para wakil rakyat pun tak benar-benar menjalankan tugasnya sebagai penyampai aspirasi rakyat demi kemajuan negeriku, mereka kebanyakan hanya tidur waktu sidang soal rakyat. negeriku pun kerap menangis melihat aparat pemerintahannya yang ternyata lebih memenuhi sel penjara karena korupsi daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Aku dapat melihat kecarut-marutan di sekolah-sekolah, di kota-kota besar, di gedung-gedung bertingkat, di pengadilan negeri, di kolong jembatan layang, bahkan di Instana Presiden sekalipun.. Semuanya penuh ketidakberesan dan sangat berantakan. Semua orang saling tuduh, berebut harta dan kuasa, mencari muka, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin terinjak. Kemudian Indonesiaku kembali menangis, dan kini sedikit meraung. Melihat itu, aku hanya bisa berdiri dengan rapi di lapangan dan hormat pada bendera yang lusuh ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Aku hanya ingin menunjukkan aku masih mencintai Indonesia, dengan segala ketidakseimbangan yang ada di negeri ini.
Tapi belakangan ini aku sadar akan suatu hal. Mencintai Indonesia bukan berarti kita hormat pada benderanya, atau menyanyikan lagu kebangsaannya, atau menghafal Pancasila, atau membuat puisi indah tentangnya. Tapi mencintai Indonesia berarti kita siap untuk mengorbankan kepentingan kita demi kepentingan bangsa dan negeri ini. Mencintai Indonesia berarti kita siap melakukan perubahan menjadi negeri yang lebih baik dan memperbaiki yang telah buruk sebelumnya. Maka aku membuat karangan ini bukan lagi untuk menunjukkan betapa aku mencintai Indonesia, dan bukan lagi untuk menggambarkan rasa cintaku yang besar pada Indonesia. Tapi aku membuat karangan ini, karena aku sadar banyak orang di luar sana yang belum tahu bagaimana cara mencintai Indonesia. Maka aku mengatakan, beginilah caraku mencintai Indonesia, yaitu dengan mengajak rakyat Indonesia mencintai negeriku, Indonesiaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun