Menata Ulang MBG agar Aman dan Berkelanjutan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah bukan hanya sekadar agenda penyediaan makanan di sekolah atau institusi tertentu, melainkan merupakan investasi strategis bagi masa depan bangsa. Sebab, kualitas gizi generasi muda sangat menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa mendatang. Dengan gizi yang baik, anak-anak akan tumbuh sehat, cerdas, dan memiliki daya saing. Namun, skala program yang begitu luas, melibatkan jutaan peserta didik di berbagai wilayah dengan kondisi sosial dan geografis yang berbeda, menuntut perancangan tata kelola yang matang dan adaptif. Tanpa manajemen yang tepat, program mulia ini justru berisiko menimbulkan masalah serius, mulai dari keracunan massal akibat kelalaian standar pengolahan pangan, hingga tidak berlanjutnya program karena beban fiskal dan lemahnya sistem pengawasan.
Oleh karena itu, pembukaan MBG harus dimulai dari kesadaran bahwa tata kelola adalah fondasi utama. Tata kelola yang lemah akan membuat program rentan terhadap inefisiensi, penyimpangan anggaran, dan kegagalan mencapai tujuan. Di sisi lain, tata kelola yang kuat akan menciptakan ekosistem layanan gizi yang bukan hanya aman, tetapi juga efektif, transparan, dan berkelanjutan. Untuk itulah prinsip GRC (Governance, Risk, Compliance) harus menjadi roh dalam setiap perumusan kebijakan dan pelaksanaan program. Governance memastikan adanya mekanisme pengambilan keputusan yang akuntabel, risk management memastikan setiap potensi masalah diidentifikasi dan dimitigasi sejak awal, sementara compliance memastikan kepatuhan pada regulasi kesehatan, keselamatan pangan, serta standar pengelolaan anggaran.
Selain itu, penting disadari bahwa MBG tidak bisa dijalankan secara sentralistik penuh. Pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) dapat merancang standar, regulasi, dan instrumen pengawasan, tetapi tidak mungkin menjangkau secara langsung setiap sekolah, posyandu, atau kantin yang tersebar hingga ke pelosok desa. Di sinilah pentingnya pembagian peran. Pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota, harus menjadi operator utama yang memahami kebutuhan dan tantangan lokal, sementara pusat berperan sebagai perencana dan pengawas yang memastikan keseragaman standar. Dengan demikian, span of control yang terlalu luas dapat dipersempit, keputusan lebih cepat diambil, dan risiko kegagalan sistemik dapat diminimalkan.
Dalam konteks ini, tata kelola MBG bukan hanya soal membagi siapa melakukan apa, tetapi juga bagaimana membangun sistem yang memungkinkan semua pihak bekerja dalam satu ekosistem yang terintegrasi. Dari sekolah hingga pusat pemerintahan, setiap lapisan harus memiliki peran jelas, prosedur standar yang seragam, serta jalur komunikasi yang terbuka. Dengan menata ulang MBG sejak awal melalui arsitektur tata kelola yang kokoh, pemerintah dapat memastikan bahwa program ini tidak berhenti sebagai proyek populis jangka pendek, melainkan benar-benar menjadi investasi jangka panjang yang menghasilkan generasi emas Indonesia.
Operator Daerah sebagai Garda Depan
Keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada akhirnya ditentukan oleh kualitas pelaksanaannya di lapangan. Meski visi besar lahir dari pemerintah pusat, namun realisasi konkret justru terjadi di tingkat daerah. Inilah mengapa pemerintah kabupaten dan kota harus ditempatkan sebagai operator utama, menjadi garda depan yang memastikan setiap anak menerima makanan bergizi dengan aman, tepat waktu, dan sesuai standar.
Pemerintah daerah memiliki modal sosial, geografis, dan kelembagaan yang lebih dekat dengan masyarakat. Mereka memahami karakteristik wilayahnya---mulai dari ketersediaan bahan pangan lokal, pola konsumsi masyarakat, hingga potensi risiko kesehatan yang khas di daerah tertentu. Hal ini membuat pemda jauh lebih adaptif dalam merancang strategi distribusi makanan bergizi. Misalnya, daerah pesisir dapat mengoptimalkan ikan sebagai sumber protein utama, sementara daerah pegunungan dapat memanfaatkan sayuran segar hasil pertanian lokal. Dengan pendekatan seperti ini, program tidak hanya menekan biaya distribusi, tetapi juga menghidupkan ekonomi lokal melalui keterlibatan petani, nelayan, dan UMKM pangan.
Peran operasional pemda juga diperkuat oleh perangkat yang telah tersedia. Posyandu, misalnya, dapat menjadi simpul pemantauan kesehatan anak yang menerima MBG, memastikan adanya deteksi dini terhadap kasus gizi buruk atau keracunan. Kantin sekolah di bawah pengawasan Dinas Pendidikan bisa menjadi sentra penyediaan menu, sekaligus ruang edukasi tentang pentingnya pola makan sehat bagi anak-anak. Bahkan Babinsa dan kepolisian setempat dapat ikut menjaga keamanan logistik, mulai dari gudang penyimpanan bahan pangan, jalur distribusi, hingga keamanan di titik konsumsi, sehingga rantai pasok program benar-benar terlindungi.
Selain itu, keterlibatan pemda sebagai operator membuka ruang koordinasi lintas sektor yang lebih efektif. Program gizi tidak bisa berjalan sendiri tanpa melibatkan dinas kesehatan, pendidikan, perdagangan, pertanian, hingga koperasi dan UMKM. Dengan model operasional berbasis daerah, sinergi antarinstansi lebih mudah dijalin karena adanya kepemimpinan langsung dari kepala daerah yang memiliki legitimasi politik sekaligus tanggung jawab moral terhadap warganya. Kepala daerah dapat mengintegrasikan MBG ke dalam prioritas pembangunan daerah, menjadikannya bagian dari indikator kinerja pemerintah daerah, bukan sekadar proyek pusat yang diturunkan ke bawah.