Kartu Layak Kerja bukan sekadar program teknokratik, melainkan penanda pergeseran paradigma besar dalam kebijakan ketenagakerjaan. Ia hadir membawa gagasan bahwa kerja tidak lagi semata-mata hak mereka yang beruntung lahir dalam keluarga mampu, sekolah di tempat elit, atau punya koneksi orang dalam. Kartu ini mendobrak tembok diskriminatif yang selama ini menghambat talenta-talenta muda, terutama dari Gen Z dan Gen Alpha, untuk bersaing secara adil di dunia kerja. Solo, melalui jurus baru ini, mencoba menegaskan bahwa kompetensi adalah mata uang utama dalam era ekonomi berbasis keterampilan (skills-based economy). Siapa pun yang memiliki bukti keterampilan yang terverifikasi, layak mendapatkan peluang kerja, promosi, bahkan akses pelatihan lanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang plural dan sarat ketimpangan akses, keberadaan Kartu Layak Kerja bisa menjadi instrumen pemerataan sosial yang nyata. Ini adalah bentuk keadilan yang tidak memanjakan, tapi memberdayakan. Namun tentu saja, kartu ini bukan solusi ajaib yang akan menyelesaikan semua persoalan ketenagakerjaan dalam semalam. Ia harus dibarengi dengan reformasi ekosistem: digitalisasi data tenaga kerja, standarisasi asesmen kompetensi, insentif bagi perusahaan yang merekrut berdasarkan keterampilan, hingga sinergi lintas sektor antara pendidikan, pelatihan, dan industri.
Jika dijaga konsistensinya dan terus dikembangkan sesuai dinamika lapangan, Solo punya peluang besar menjadi pelopor kota dengan sistem ketenagakerjaan paling progresif di Indonesia. Dari kota ini, semangat meritokrasi bisa menyebar ke daerah lain. Kartu Layak Kerja, jika dimaknai serius, bukan hanya kartu biasa, tapi kartu yang membuka pintu masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI