Gen Z dan Gen Alpha tumbuh di tengah disrupsi teknologi, iklim kerja yang cair, dan ekspektasi karier yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Namun sistem pendidikan kita masih berkutat pada model abad ke-20 yang mengutamakan hafalan, bukan keterampilan praktis. Di sinilah Kartu Layak Kerja menjadi penting: sebagai platform link and match, jembatan konkret antara output pendidikan dan input industri.
Pemerintah Kota Solo memahami bahwa jurang antara sekolah dan dunia nyata bukan soal kurikulum semata, tapi soal mindset. Dunia kerja kini menuntut kolaborasi, kreativitas, dan kemampuan adaptasi, bukan hanya nilai akademik. Melalui Kartu Layak Kerja, Solo mencoba melakukan matchmaking antara lulusan dan lowongan, antara potensi dan peluang. Bahkan lebih dari itu, kartu ini bisa menjadi alat navigasi karier yang membimbing anak muda dalam memilih jalur pelatihan atau pengalaman kerja yang sesuai dengan aspirasi mereka.
Namun agar efektif, dunia industri pun harus berbenah. Banyak perusahaan masih menggunakan model rekrutmen yang kaku dan konvensional. Job desc yang tidak realistis, syarat pengalaman kerja yang ironis (misalnya fresh graduate tapi wajib pengalaman dua tahun), serta diskriminasi usia dan institusi pendidikan, menjadi penghalang utama link and match. Solo mengajak perusahaan untuk merevisi pendekatan mereka: membuka diri terhadap model rekrutmen berbasis potensi dan hasil asesmen, bukan sekadar CV dan almamater.
Inisiatif ini juga perlu didukung dengan platform digital yang memuat profil para pencari kerja pemegang Kartu Layak Kerja, sehingga perusahaan bisa melakukan pencarian secara langsung, layaknya LinkedIn versi lokal. Dengan begitu, matchmaking bisa berjalan secara efisien dan transparan. Lebih jauh lagi, pemerintah daerah bisa menganalisis data ini untuk merancang pelatihan baru sesuai kebutuhan industri yang terus berubah.
Praktik Global: Inspirasi dari Singapura, Jerman, dan Australia
Solo bukan yang pertama di dunia dalam urusan memformalkan kelayakan kerja dalam bentuk kartu atau sistem identifikasi kompetensi. Negara-negara seperti Singapura, Jerman, dan Australia sudah lebih dahulu membangun sistem sejenis dengan pendekatan masing-masing yang bisa jadi pelajaran penting.
Di Singapura, misalnya, ada sistem SkillsFuture Credit, di mana setiap warga dewasa mendapatkan kredit pelatihan yang bisa digunakan untuk kursus atau pelatihan yang telah diakui pemerintah. Sistem ini sangat personalisasi dan terhubung langsung dengan National Skills Framework, sehingga setiap pekerja tahu apa saja keterampilan yang dibutuhkan di industri tertentu dan bagaimana cara memperolehnya. Bahkan perusahaan pun turut diberi insentif untuk merekrut berdasarkan keterampilan, bukan semata-mata ijazah.
Jerman dikenal dengan sistem dual vocational training, di mana pelajar menghabiskan waktu setengah di sekolah dan setengah di perusahaan. Dengan sertifikasi industri yang ketat dan keterlibatan langsung dunia usaha dalam merancang kurikulum, lulusan vokasi di Jerman hampir selalu siap kerja. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai satu-satunya penentu pelatihan.
Australia memiliki National Skills Passport, yang menyimpan rekam jejak pembelajaran sepanjang hayat seseorang. Ini mencakup sertifikat pelatihan, pengalaman kerja, hingga rekomendasi profesional. Dengan sistem ini, perusahaan bisa dengan mudah mengecek kredensial seorang pelamar tanpa harus melalui proses verifikasi yang rumit. Transparansi dan efisiensi menjadi kata kunci.
Solo bisa belajar dari keberhasilan dan tantangan sistem-sistem ini. Misalnya, bagaimana membangun trust antar pemangku kepentingan, bagaimana mengintegrasikan data, dan yang terpenting: bagaimana menjadikan sistem ini sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang, bukan proyek jangka pendek yang terhenti saat kepemimpinan berganti.
Kartu Layak Kerja, Jalan Menuju Keadilan Kompetensi