Kemiskinan Tak Sesederhana Angka; Beda Standar Bank Dunia dan BPS
Â
Kemiskinan Versi Dunia dan Lokal: Ketika Angka Menjadi Panglima
Dalam mengukur kemiskinan, Indonesia dihadapkan pada dua pendekatan yang sering kali berjalan paralel tapi tak selalu sejalan, yaitu versi Bank Dunia dan versi Biro Pusat Statistik (BPS). Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) sebesar US$3,65 per kapita per hari, sementara untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), garisnya naik menjadi US$6,85. Artinya, bila Indonesia mengklaim sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas, maka standar kemiskinannya pun seharusnya mengikuti angka US$6,85 per hari atau sekitar Rp3,4 juta per bulan (kurs Rp15.000).
Namun di sisi lain, BPS masih menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni garis kemiskinan nasional yang dihitung berdasarkan kebutuhan minimum makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan bukan makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan data Maret 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional di angka Rp550.458 per kapita per bulan, atau sekitar Rp18.300 per hari. Jelas sekali perbedaan ini mencolok. Dengan standar Bank Dunia, bisa jadi lebih dari 40% masyarakat Indonesia tergolong miskin, namun menurut BPS, hanya sekitar 9,36% yang masuk kategori tersebut.
Perbedaan definisi ini mencerminkan dua realitas yang berbeda pula. Bank Dunia fokus pada daya beli minimum agar seseorang bisa hidup layak secara global. Sementara BPS fokus pada kebutuhan dasar masyarakat dalam konteks lokal. Di sinilah perdebatan bermula: mana yang lebih mencerminkan kenyataan di lapangan?
Antara Statistik dan Kenyataan: Ketika Perut Tak Bisa Dibohongi
Persoalan sesungguhnya bukan pada angka semata, tetapi pada makna dari angka itu sendiri dalam kehidupan nyata. Apakah seseorang dengan pengeluaran Rp600 ribu per bulan bisa dikatakan tidak miskin hanya karena dia melewati garis kemiskinan BPS? Faktanya, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, bahkan masyarakat dengan pengeluaran dua kali lipat dari itu masih sering kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Biaya transportasi, sewa tempat tinggal, biaya sekolah anak, hingga kebutuhan kesehatan, semua mengalami kenaikan yang signifikan.
Di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, hidup dengan Rp550 ribu per bulan hampir mustahil. Artinya, meskipun data menunjukkan penurunan angka kemiskinan secara statistik, namun kemiskinan fungsional atau kemiskinan riel tetap mengintai banyak keluarga. Di sinilah tantangan pengukuran kemiskinan sesungguhnya: angka boleh turun, tetapi bila masyarakat masih hidup dalam keterbatasan, maka kesejahteraan belum sepenuhnya hadir.
Fenomena ini diperparah dengan klasifikasi semu: banyak masyarakat yang secara statistik tidak miskin, namun secara sosial dan ekonomi tetap berada di posisi rentan. Mereka adalah kelompok miskin semu yang tidak mendapatkan bantuan sosial karena dianggap "tidak miskin", namun sekaligus juga tidak cukup mapan untuk hidup nyaman. Mereka inilah yang kerap terjerat pinjol, gagal bayar BPJS, atau anaknya putus sekolah diam-diam.