Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemiskinan Tak Sesederhana Angka

14 Mei 2025   07:15 Diperbarui: 14 Mei 2025   06:26 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.onews.id/bukan-sekadar-angka-kemiskinan/

Kemiskinan Tak Sesederhana Angka; Beda Standar Bank Dunia dan BPS

 

Kemiskinan Versi Dunia dan Lokal: Ketika Angka Menjadi Panglima

Dalam mengukur kemiskinan, Indonesia dihadapkan pada dua pendekatan yang sering kali berjalan paralel tapi tak selalu sejalan, yaitu versi Bank Dunia dan versi Biro Pusat Statistik (BPS). Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) sebesar US$3,65 per kapita per hari, sementara untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), garisnya naik menjadi US$6,85. Artinya, bila Indonesia mengklaim sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas, maka standar kemiskinannya pun seharusnya mengikuti angka US$6,85 per hari atau sekitar Rp3,4 juta per bulan (kurs Rp15.000).

Namun di sisi lain, BPS masih menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni garis kemiskinan nasional yang dihitung berdasarkan kebutuhan minimum makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan bukan makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan data Maret 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional di angka Rp550.458 per kapita per bulan, atau sekitar Rp18.300 per hari. Jelas sekali perbedaan ini mencolok. Dengan standar Bank Dunia, bisa jadi lebih dari 40% masyarakat Indonesia tergolong miskin, namun menurut BPS, hanya sekitar 9,36% yang masuk kategori tersebut.

Perbedaan definisi ini mencerminkan dua realitas yang berbeda pula. Bank Dunia fokus pada daya beli minimum agar seseorang bisa hidup layak secara global. Sementara BPS fokus pada kebutuhan dasar masyarakat dalam konteks lokal. Di sinilah perdebatan bermula: mana yang lebih mencerminkan kenyataan di lapangan?

Antara Statistik dan Kenyataan: Ketika Perut Tak Bisa Dibohongi

Persoalan sesungguhnya bukan pada angka semata, tetapi pada makna dari angka itu sendiri dalam kehidupan nyata. Apakah seseorang dengan pengeluaran Rp600 ribu per bulan bisa dikatakan tidak miskin hanya karena dia melewati garis kemiskinan BPS? Faktanya, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, bahkan masyarakat dengan pengeluaran dua kali lipat dari itu masih sering kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Biaya transportasi, sewa tempat tinggal, biaya sekolah anak, hingga kebutuhan kesehatan, semua mengalami kenaikan yang signifikan.

Di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, hidup dengan Rp550 ribu per bulan hampir mustahil. Artinya, meskipun data menunjukkan penurunan angka kemiskinan secara statistik, namun kemiskinan fungsional atau kemiskinan riel tetap mengintai banyak keluarga. Di sinilah tantangan pengukuran kemiskinan sesungguhnya: angka boleh turun, tetapi bila masyarakat masih hidup dalam keterbatasan, maka kesejahteraan belum sepenuhnya hadir.

Fenomena ini diperparah dengan klasifikasi semu: banyak masyarakat yang secara statistik tidak miskin, namun secara sosial dan ekonomi tetap berada di posisi rentan. Mereka adalah kelompok miskin semu yang tidak mendapatkan bantuan sosial karena dianggap "tidak miskin", namun sekaligus juga tidak cukup mapan untuk hidup nyaman. Mereka inilah yang kerap terjerat pinjol, gagal bayar BPJS, atau anaknya putus sekolah diam-diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun