Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kata "Stecu", Stelan Cuek yang Viral, Mungkinkan Masuk KBBI ?

12 April 2025   19:00 Diperbarui: 12 April 2025   18:11 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata "Stecu", Stelan Cuek yang Viral: Mungkinkah Masuk KBBI?

Ketika Kata Jadi Gaya: Jejak Gaul Bahasa Anak Zaman Sekarang

Bahasa selalu hidup, bertumbuh, dan menyerap napas zaman. Apa yang dulu dianggap remeh, bisa jadi kini menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari. Salah satu buktinya adalah fenomena bahasa gaul yang tak pernah kehabisan kreativitas. Dalam pusaran gaya hidup digital dan sosial media, generasi muda terus menciptakan dan menyebarkan istilah baru yang kemudian menjelma jadi identitas bersama. Di sinilah lahirnya kata-kata seperti mager (malas gerak), baper (bawa perasaan), kepo (knowing every particular object), julid (jude and pelit), dan sekarang, satu nama baru menyita perhatian: stecu.

Kata stecu mencuat dari sebuah lagu yang viral di berbagai platform media sosial, berjudul sama, "Stecu", yang dinyanyikan oleh Faris Adam. Dalam liriknya, Faris menyisipkan istilah yang ia akui sebagai ciptaannya sendiri: stecu, yang merupakan kependekan dari stelan cuek. Meski terdengar sederhana, kata ini segera menjalar ke percakapan sehari-hari. Anak-anak muda menyebut teman yang tampil santai, tanpa peduli penampilan terlalu formal atau modis, sebagai "anak-anak stecu". Ada kesan keren dalam ketidakteraturan, ada daya tarik dalam cuek yang dibuat-buat, dan dalam bahasa gaul, semua bisa menjadi tren asal dikemas dengan cara yang pas.

Namun, tak semua kata gaul yang populer bisa serta-merta masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus resmi bahasa Indonesia yang menjadi rujukan akademik, birokrasi, dan literasi nasional. Pertanyaan pun muncul: mungkinkah stecu suatu hari kelak ikut menghuni lembar-lembar KBBI, seperti kata baper yang telah lebih dulu masuk?

Dari Lagu ke Lisan: Fenomena Pop Bahasa Gaul

Bahasa gaul selalu menarik karena mencerminkan cara anak muda menyikapi dunia. Mereka tak hanya menyerap realitas, tapi juga menciptakan realitasnya sendiri lewat bahasa. Inilah yang membuat istilah-istilah seperti stecu terasa lebih dari sekadar kata: ia adalah simbol, gaya hidup, bahkan kadang sikap.

Dalam lagu "Stecu" karya Faris Adam, istilah ini tidak hanya menjadi judul, tapi juga menjadi bagian dari narasi musik yang mengangkat kecerobohan dan ketidakpedulian sebagai sikap yang malah terlihat keren. Lagu ini disukai karena relevan dengan kehidupan sehari-hari pendengarnya. Banyak anak muda merasa terwakili oleh lirik dan gaya musik yang santai, tidak menggurui, dan menggambarkan kehidupan urban yang lekat dengan gaya stelan cuek.

Sebagaimana banyak kata yang lahir dari komunitas, stecu pun kemudian menyebar lewat media sosial, menjadi tagar, caption, bahkan merchandise. Ia berubah dari kata dalam lagu menjadi istilah yang digunakan dalam percakapan. Tak jarang pula muncul video-video pendek di TikTok atau Instagram yang menampilkan "anak-anak stecu" yang memamerkan pakaian santai, tapi tetap percaya diri. Di sinilah kekuatan budaya pop bekerja: lagu menjadi bahasa, bahasa menjadi tren, tren menjadi gaya hidup.

Jejak Kata Gaul yang Masuk KBBI: Sebuah Preseden

Kita tidak bisa bicara soal stecu tanpa menengok jejak kata-kata sejenis yang berhasil masuk ke dalam KBBI. Sebut saja mager, baper, julid, atau kepo. Keempat kata ini pernah hanya dikenal di kalangan terbatas, namun kini sudah menjadi kosakata resmi. Misalnya, mager dalam KBBI V berarti "malas melakukan aktivitas karena merasa lelah atau tidak bersemangat". Baper dijelaskan sebagai "terbawa perasaan", biasanya dalam konteks terlalu sensitif atau emosional. Julid diserap sebagai "bersikap atau berkata-kata sinis karena iri atau tidak senang". Kepo, yang awalnya dari bahasa Hokkien dan Inggris (know every particular object), kini diartikan dalam KBBI sebagai "ingin tahu urusan orang lain secara berlebihan".

Masuknya kata-kata tersebut ke dalam KBBI tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada proses panjang yang melibatkan penggunaannya secara luas, daya tahan dalam waktu, serta pengakuan publik dan media. Bahasa tidak hanya harus populer, tetapi juga harus terbukti bertahan dan digunakan lintas komunitas. Selain itu, Balai Bahasa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek biasanya melakukan survei, pemantauan penggunaan, dan pertimbangan sosial-budaya sebelum sebuah kata gaul bisa diterima sebagai kosakata baku.

Maka dari itu, jika kita bertanya mungkinkah stecu masuk KBBI?, maka jawabannya bergantung pada dua hal: pertama, apakah kata ini akan bertahan lebih dari sekadar tren sesaat; dan kedua, apakah penggunaannya akan meluas ke berbagai kalangan dan konteks.

Antara Bahasa Resmi dan Bahasa Gaul: Dinamika yang Saling Menghidupi

Bahasa resmi dan bahasa gaul bukanlah dua dunia yang saling meniadakan. Justru, keduanya berada dalam relasi yang saling menghidupi. Bahasa resmi menjaga struktur, kaidah, dan ketertiban berbahasa; sementara bahasa gaul memberi ruang bagi ekspresi, kreativitas, dan kebaruan. Keduanya bertemu ketika kata-kata gaul telah menunjukkan konsistensinya digunakan dan diterima oleh masyarakat luas.

Kata stecu sejauh ini masih berada di tahap awal popularitas. Ia belum seluas mager atau baper, tapi ia punya potensi. Jika penggunaannya terus meningkat, jika ia digunakan dalam berbagai media, diskusi, atau bahkan acara formal yang disisipi unsur santai, maka jalan menuju pengakuan resmi akan terbuka. Bahkan, jika kata ini mulai muncul dalam tulisan-tulisan sastra atau karya ilmiah populer yang relevan dengan kajian budaya, maka otoritas bahasa pun akan menaruh perhatian lebih.

Lebih jauh lagi, stecu adalah contoh betapa dinamisnya perkembangan bahasa Indonesia. Ia mencerminkan kreativitas anak muda dalam bermain kata, dalam menyusun identitas, bahkan dalam menanggapi realitas sosial dengan gaya sendiri. Ini juga memperlihatkan bahwa bahasa adalah milik masyarakat. Ia tumbuh dari bawah, dari ruang-ruang percakapan kasual, dari lirik lagu, dari candaan, dari TikTok dan Instagram, sebelum kemudian naik ke panggung yang lebih formal.

Stelan Cuek yang Mungkin Serius Dilirik KBBI

Kehadiran kata stecu di tengah-tengah bahasa gaul anak muda mencerminkan dinamika linguistik yang terus hidup dan bertransformasi. Ia bukan sekadar istilah iseng dalam lirik lagu Faris Adam, melainkan representasi dari semangat generasi sekarang yang lebih ekspresif, santai, namun tetap sadar akan identitasnya. Stecu, stelan cuek, menjadi simbol gaya yang tak perlu repot, namun tetap tampil percaya diri. Inilah bentuk kebaruan yang lahir dari ruang keseharian: dari percakapan, dari media sosial, dari gaya berpakaian, hingga dari respons terhadap tekanan sosial yang menuntut "selalu tampil sempurna". Dalam stecu, tersimpan filosofi "cukup jadi diri sendiri".

Apakah kata ini punya potensi masuk KBBI? Potensinya jelas ada. Jika kita melihat bagaimana mager, baper, hingga julid akhirnya diakui sebagai bagian dari bahasa Indonesia resmi, maka jalan bagi stecu terbuka lebar, asalkan ia mampu bertahan dalam jangka waktu panjang, digunakan lintas konteks, dan menembus batasan komunitas sempit. Apalagi jika kelak istilah ini muncul dalam karya sastra, media massa, atau bahkan dokumen akademik budaya popular, maka validasinya akan semakin kuat.

Bahasa besar adalah bahasa yang memberi ruang tumbuh bagi kosakata rakyatnya. Maka jika suatu hari stecu diabadikan dalam KBBI, itu bukan sekadar pengakuan pada satu kata, tetapi juga pada kreativitas, spontanitas, dan semangat zaman yang diusung generasi muda Indonesia. Karena dalam bahasa, kadang justru yang lahir dari kelakar paling cuek bisa jadi warisan yang paling serius.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun