Trumponomics: Menarik Modal, Mencetak Utang, Mengubah Arah Ekonomi
Ketika Donald Trump mulai menempati Gedung Putih pada awal 2017, dia membawa serta satu paket kebijakan ekonomi agresif yang kemudian dikenal sebagai Trumponomics. Inti dari pendekatan ini adalah pemangkasan pajak, proteksionisme dagang, deregulasi, dan peningkatan belanja pemerintah, terutama pada sektor infrastruktur dan pertahanan. Namun, di balik kebijakan yang tampak pro-rakyat tersebut, tersembunyi sebuah manuver besar dalam pengelolaan arus modal nasional, terutama dalam mengalihkan perhatian investor dari pasar saham ke pasar obligasi negara.
Trumponomics bukan sekadar strategi fiskal dan moneter biasa, melainkan sebuah pendekatan ekonomi yang penuh kalkulasi politik dan tekanan terhadap institusi independen seperti The Federal Reserve. Melalui kebijakan-kebijakannya, Trump seakan mencoba merebut pengaruh dari The Fed dalam pengendalian ekonomi makro, menjadikan fiskal sebagai instrumen dominan dalam mengatur laju pertumbuhan, inflasi, dan likuiditas.
Kebijakan pemangkasan pajak terbesar dalam sejarah AS sejak era Ronald Reagan diberlakukan melalui Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) 2017. Undang-undang ini memangkas tarif pajak korporasi dari 35% menjadi 21%, dan menurut laporan dari Joint Committee on Taxation, diperkirakan akan menambah defisit federal sebesar USD 1,5 triliun dalam sepuluh tahun. Kebutuhan pembiayaan yang besar inilah yang mendorong manuver lanjutan: mengalihkan likuiditas pasar dari saham ke obligasi.
Pasar Saham Menyusut, Obligasi Membengkak: Mengalihkan Arus Modal Secara Sistematis
Langkah Trump yang paling mencolok dalam kerangka Trumponomics adalah upaya sistematis untuk mengalihkan arus modal dari pasar saham ke pasar obligasi pemerintah. Dengan melonjaknya kebutuhan pembiayaan belanja fiskal, baik untuk proyek infrastruktur maupun modernisasi militer, Trump memperluas penerbitan obligasi negara. Menurut data dari U.S. Department of the Treasury, total utang publik AS meningkat dari sekitar USD 19,9 triliun pada awal 2017 menjadi lebih dari USD 27 triliun pada akhir masa jabatan Trump di 2021.
Penerbitan obligasi besar-besaran ini menciptakan insentif bagi investor, baik domestik maupun global, untuk berpaling dari saham dan beralih ke surat utang pemerintah yang dianggap lebih aman. Yield obligasi 10 tahun AS sempat melonjak ke atas 3% pada 2018, tertinggi sejak 2011, menciptakan daya tarik yang besar bagi investor konservatif.
Pada saat yang sama, pasar saham AS mulai mengalami volatilitas tajam. Sektor-sektor yang sangat tergantung pada perdagangan global, seperti teknologi dan otomotif, terguncang akibat perang dagang dengan Tiongkok yang dilancarkan oleh Trump sejak 2018. Indeks Dow Jones sempat turun 5,6% sepanjang 2018, penurunan tahunan pertama sejak krisis keuangan global 2008.
Strategi ini menciptakan paradoks: di satu sisi ekonomi tumbuh, pengangguran menurun (tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada akhir 2019, terendah dalam 50 tahun menurut Bureau of Labor Statistics), tetapi di sisi lain, ketergantungan terhadap pembiayaan utang melalui obligasi semakin dalam. AS menjadi seperti bisnis raksasa yang menopang ekspansi dengan utang besar, namun menjaga kepercayaan investor dengan janji imbal hasil jangka panjang yang stabil.
Kritik Terbuka terhadap The Fed: Siapa Pemegang Komando Kebijakan Ekonomi?