Aksi Premanisme Jatah THR
Premanisme THR: Ancaman Tahunan di Balik Nuansa Lebaran
Setiap menjelang Idulfitri, selain meningkatnya aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat, ada satu fenomena tahunan yang tak kalah mencolok: aksi premanisme yang menuntut jatah THR dari pelaku usaha.
Aksi ini tidak datang dari karyawan yang memang berhak, melainkan dari oknum yang mengaku sebagai perwakilan organisasi masyarakat atau tokoh lingkungan, yang secara sepihak meminta "uang lebaran" dengan alasan menjaga keamanan, menjaga ketertiban, atau sebagai bentuk "toleransi sosial".
Padahal, di banyak kasus, permintaan tersebut bersifat memaksa, bahkan mengandung unsur intimidasi yang membuat pelaku usaha merasa tertekan. Fenomena ini menjadi paradoks di tengah semangat Lebaran yang mestinya menumbuhkan solidaritas dan kepedulian. Ironisnya, banyak pelaku usaha---terutama UMKM dan sektor distribusi---lebih memilih diam atau menyerah karena khawatir akan gangguan terhadap operasional mereka. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya mencoreng makna Lebaran, tetapi juga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat dan rawan kriminalisasi berkedok tradisi.
Data-Data dan Fakta Lapangan
Fenomena premanisme yang menuntut jatah THR bukan sekadar desas-desus atau pengalaman satu dua pelaku usaha, melainkan gejala sosial yang nyata dan berulang setiap tahun menjelang Lebaran. Berdasarkan data dari Komnas HAM tahun 2023, terdapat lebih dari 200 laporan pengaduan yang berkaitan dengan aksi pemerasan, intimidasi, dan pungutan liar terhadap pelaku usaha selama bulan Ramadan.
Dari laporan tersebut, sebagian besar pelaku adalah oknum masyarakat yang mengaku berasal dari organisasi tertentu, meskipun tidak memiliki legalitas formal untuk meminta sumbangan. Bentuk aksinya pun beragam---dari menyebarkan surat permintaan jatah THR hingga melakukan kunjungan langsung ke lokasi usaha dengan tekanan terselubung.
Sementara itu, Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) mencatat bahwa sekitar 20 persen pelaku UMKM pernah mengalami tekanan untuk memberikan "uang lebaran" kepada pihak yang tidak memiliki hubungan kerja atau kontraktual. Pelaku usaha kecil, terutama yang bergerak di bidang logistik, ritel, dan distribusi sembako, menjadi sasaran empuk karena dianggap tidak memiliki sumber daya hukum atau keamanan untuk melawan balik.
Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) juga mengungkapkan bahwa banyak perusahaan enggan melaporkan kasus ini ke aparat karena khawatir adanya balasan dalam bentuk sabotase, intimidasi lanjutan, atau kerugian operasional lain. Akibatnya, praktik ini terus berlangsung dalam diam, menjadi semacam "tradisi kelam" yang mengakar.