Tanaman Terlarang Itu Kembali Ditemukan---di Jantung Kawasan Lindung
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar temuan ladang ganja seluas 4 hektare di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Bukan kasus pertama, dan boleh jadi bukan yang terakhir. Fenomena ganja di pegunungan ini terus berulang seperti mimpi buruk yang diputar ulang: lokasi terpencil, kondisi alam ideal, ladang ganja yang luas, dan aparat yang terlambat tahu.
Tapi mari kita tahan sejenak untuk tidak terburu-buru menyalahkan "tanaman" itu sendiri. Karena dalam kasus ini, pertanyaannya lebih dalam dari sekadar siapa yang menanam. Pertanyaannya adalah: bagaimana bisa kawasan konservasi---yang seharusnya steril dari aktivitas ilegal---malah menjadi surga tersembunyi bagi tanaman terlarang?
Kenapa Ganja Sering Tumbuh di Pegunungan?
Secara ekologis, jawabannya sederhana: ganja adalah tanaman keras yang tumbuh paling subur di dataran tinggi dengan tanah vulkanik, sinar matahari penuh, dan udara lembap. Pegunungan seperti Semeru, Leuser, hingga pegunungan Papua, menyediakan kondisi alami yang nyaris sempurna bagi pertumbuhannya.
Namun, kecocokan ekologis bukanlah legalitas. Dan saat ladang ganja ditemukan di area konservasi, yang kita hadapi bukan hanya "tanaman ilegal", tapi juga kelalaian negara dalam menjaga ruang lindung.
Ironi Konservasi: Ladang Ganja di Wilayah yang Harusnya Dijaga
Inilah yang paling tragis: Taman Nasional adalah ruang publik yang harusnya jadi wajah peradaban ekologis kita. Tapi justru di ruang-ruang seperti inilah, praktik gelap bersembunyi paling nyaman.
Pertanyaannya: siapa yang mengawasi TNBTS? Bagaimana sistem patroli dan kontrol terhadap akses masuk kawasan? Bagaimana teknologi digunakan (atau tidak digunakan) untuk melacak aktivitas mencurigakan? Dan yang paling penting---apakah kita memang benar-benar menjaga, atau sekadar memberi label "kawasan konservasi" tanpa perangkat nyata untuk melindunginya?
Negara yang Terlambat dan Masyarakat yang Tidak Dilibatkan
Masalahnya bukan hanya soal aparat yang telat tahu, tapi juga soal sistem pengawasan yang lemah dan minimnya pelibatan masyarakat lokal. Padahal, dalam banyak wilayah, justru warga sekitar yang paling tahu gerak-gerik mencurigakan di hutan. Tapi seringkali mereka tidak diberdayakan, malah dicurigai.
Inilah ironi lain: konservasi yang eksklusif justru membuka celah bagi kriminalitas. Ketika pengelolaan kawasan hutan dipusatkan sepenuhnya pada negara tanpa membangun relasi kepercayaan dengan warga, maka "hutan kosong" itu jadi panggung ideal bagi kejahatan.
Jangan Salah Kaprah: Ini Bukan Soal Legalisasi
Tentu saja, tulisan ini bukan pembelaan terhadap ganja. Bukan juga dorongan legalisasi. Tapi ini tentang membedah akar masalah di luar sensasi berita kriminal. Karena jika kita terus terjebak dalam narasi "penemuan ladang ganja", kita hanya memadamkan api tanpa mematikan sumber apinya.
Masalah utamanya adalah: kawasan konservasi tidak lagi aman. Dan itu bukan salah tanaman, tapi salah sistem.