sempurna. Sekarang ia sial mendapat jalan yang cacat. Tidak kurang tidak lebih seperti itu hidupnya.
Namun jalan ini berbeda. Ini adalah jalan dengan beberapa belokan di titik yang sama, sebuah jalan dengan pilihan. Kala itu ia diberi pilihan antara jalan buntu atau jalan terus.
Ia diberi pilihan untuk menyerah, karena jalan yang patut baginya hanyalah jalan sempurna yang kini tinggal abu. Atau lanjut melalui jalan cacat penuh kelokan yang rasanya tak ada habisnya, yang ia anggap tidak akan sebanding dengan usaha untuk menempuhnya.
Walaupun ujung dari jalan cacat ini tidak nampak, tapi bukan ujungnya lah yang penting dari jalan ini. Karena sesungguhnya ada banyak ujung dari jalan ini, dan yang menentukannya adalah pilihan-pilihan yang dibuat anak itu.
Yang terpenting adalah perjalanannya. Di jalan yang sempurna, ia menempuhnya sendiri dan untuk diri sendiri.
Di jalan yang cacat ini, ia tidak sendiri, ketika ia tidak bisa memilih antar dua kelokan. Maka mereka yang sejalan dengannya akan membimbingnya.
Ketika ia terjatuh, maka mereka akan membantunya bangkit.
Mereka tak akan membiarkan anak itu berhenti di jalan buntu, sendiri dengan cerita yang tergantung. Anak itu akan dibawa menuju sebuah masa depan, entah berakhir  tersesat atau pulang, ia pantas menjadi bagian dari akhir cerita mereka bersama.
Maka anak itu terus berjalan. Bukan untuk melihat akhir jalan. Tapi untuk merasakan apa artinya hidup, menempuh suka dan duka dalam perjalanan melalui jalan yang penuh cacat ini.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H