Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mertamu

3 November 2018   11:10 Diperbarui: 3 November 2018   11:29 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini aku begitu bersemangat karena akan bertemu dengan koh Acoi, sudah menjadi kebiasaan kami berdua untuk saling bercengkrama, bertukar pikiran tentang segala hal, lebih dari itu ada sesuatu yang lebih penting, ada beberapa kegundahan hati yang ingin aku tanyakan langsung padanya, sore ini.

Siang itu, Aku berangkat dengan naik sepeda, pinjam teman satu kost dengan suasana hati yang riang, aku kayu sepeda dengan berdendang dawai lagu asmara.

Samar-samar ku dendangkan lagu dengan mendayu-dayu, tanpa terasa tinggal dua pertigaan lagi untuk sampai di rumahnya koh Acoi.

Laju ban sepeda makin kencang, menggilas tuntas jalanan tanpa permisi. Kini aku sudah sampai di depan rumahnya koh Acoi. Tampak koh Acoi sudah menungguku di teras rumahnya.

Dia menyambutku dengan senyuman khasnya yang meneduhkan hati, menciutkan nyali roda sepeda yang aku tumpangi untuk terus melaju. Langkah kaki bergegas menghampiri, lalu dia berdiri memberi salam, dengan gerakan punggung sedikit membungkuk badan, sesaat seluruh wajahnya ditelan oleh penampakan rambutnya sendiri.

"Duh! Gusti mengapa KAU merestui manusia mempunyai adat budaya memberi salam kepada sesamanya dengan cara seperti burung sedang minum, bukankah dengan senyumannya, aku sudah sangat berterima kasih." Batinku Mengeluh dalam hati.

Aku membalas salamnya dengan cara yang sama. Gerakan salam dan sikapku persis seperti burung sedang minum. Selesai dari membungkuknya dengan tersenyum dia mempersilahkan tamunya duduk dan sedetik kemudian tangan koh Acoi cekatan menuangkan teh pada cangkir mungil bermotif bambu.

Masih sambil tersenyum sang tuan rumah menawariku untuk minum bersama, Aku pegang cangkir mungil itu dengan sepuluh jari- jari tanganku, tentu saja dengan gerakan khas punggung membungkuk sejenak.

Walaupun begitu aku masih sering terlambat melakukan ritual membungkukkan punggung sepersekian detik dari yang koh Acoi contohkan padaku. Cangkir mungil yang berisi teh hangat itu merapat mulus dibibirku, seduhan air daun-daun mudah ini mengikis dahaga, aroma harumnya sampai memejamkan mata, melibas semua kekesalanku terhadap ritual hormat menghormati sebelumnya.

Dalam hatiku bertanya. "Apakah minuman yang begitu nikmat ini, karena ritual tadi? ah! lalu kenapa aku tadi menggerutu dalam hati, bahkan sampai mengeluh 'Oh,Gusti.' Mungkin aku yang terlalu ceroboh." Guman batinku geli.

Lamat-lamat, terdengar suara khasnya membelah jalan cerita dalam lamunanku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun