Mohon tunggu...
Ainun SuciQurani
Ainun SuciQurani Mohon Tunggu... Lainnya - Bdz_x

belajar bukan karena nilai melainkan karena ia bernilai

Selanjutnya

Tutup

Diary

Hayya 'Alal Falah, Yuk Pulang Menuju Kemenangan

15 Mei 2021   11:10 Diperbarui: 15 Mei 2021   13:38 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

HAYYA 'ALAL FALAH (Bdz_X) Berusaha mengalahkan dan meyingkirkan dia lalu mengambil posisinya, itu sungguh melelahkan dan memang bukanlah solusi yang tepat bagi petarungnya, cukup menjadi sahabat yang baik dan mengalahkan ego diri maka semuanya kan beres. Beriming-iming berharap sepertia dia si bintang, sebenarnya itu biasa ,toh itu sudah hakikat manusia yang selalu egois ingin menang tuk diperhatikan. Berambius besar demi terget yang di capai, serta berjuang keras demi menjadi bintang, sudah kewajiban si para pemimpi tuk menunaikan janji yang telah ia titip dalam tiap lembaran impian yang ia telah tulis. 

Apapun tantangan rintangan pastinya mudah menurutnya , walau tahu yang sebenarnya. Kalaulah bukan karena iman dan takwa maka semuanya kan sia-sia juwa. Entah rasa dengki apa yang selalu menyelimuti pikiranku. Rasanya jengkel, kesal juga gemmes tiap kali bercermin lihat diri sendiri. Sesekali berteriak sambil menggenggam tangan lalu menangis sebisa-bisanya dan kemudian tersenyum sendiri seakan-akan diri telah gila. Apakah mungkin ku memang telah gila? Ataukah bentuk usaha agar diri jadi tenang rileks? Ah...biarlah kutak peduli. Tuhan, rasanya kuingin bernafas lega menghirup segalanya, menghirup oksigen kehidupan dengan setulus-tulusnya. 

Entah apa yang selalu mengganjal di tenggorokan sehingga terasa selalu sesak tuk menelan ludah. Hati dan pikiran terus memberontak bertantangan, bagaimana mungkin mata mampu terpejam, sementara segalanya terngiang-ngiang dibenak, apakah rasa benci yang bersemayam dalam diri, ataukah ambisi yang berkobar tuk mengubah jalan takdir tuk hidup anak cucuku kelak? Bukan kemiskinan yang kutangisi, akan tetapi tanggung jawab tuk mensejahterakan keturunan kelak itulah yang membebani. 

Bukan nilai anjlok yang kusesali, melainkan menyesali diri yang telah lalai dengan waktu. Bukan merengek menuntut hukum langit tuk mengubah takdir, namun ampunan dan rahmat itulah yang kuharapkan. 20 tahun hidup berputar dibawah aturan mesin waktu. Tragedi dan peristiwa di dunia sandiwara penuh rekayasa telah tersaksikan. Dulu kubodoh, plongo-plongo tak peduli, sedikit heran karena mungkin kuterlalu polos tak mengerti, juga karena aturan orang dewasa selalu melarang bocah tuk mengetahui segalanya dengan alasan ini bukan urusan anak kecil. Akan tetapi seluruh kejadian kan selalu terekam oleh chip bawah sadar bagaimanapun itu, hingga waktu dan masa mengajariku tuk akhirnya mengerti satu demi satu. Dalam hitungan 1,2,3 pesawat kelas ekonomi yang kutumpangi akhirnya meluncur juga. Selamat tinggal kotaku dan tanah kelahiranku, hari ini kuharus merantau jauh tuk menunaikan mimpi dan cita. Meninggalkanmu sungguh sangatlah berat ,karena itu tandanya kuharus pulang kembali dengan mimpi yang tlah kujanji.Percayalah karena kubukan seorang penghianat ataupun pecundang yang nantinya kan merugikan bangsa. Meski ku seorang wanita, tapi tenanglah kubukan seperti yang mereka pikirkan,tapi bermental baja bukan bermental krupuk. 

Hei melihatmu dari atas sini ternyata cukup indah, walau bangunan-bangunan terlihat tak rata beraturan, ah dirimu terlalu gersang tuk dinikmati, tak banyak pepohonan yang hijau menghiasi, kering dan tandus, apakah begini konsikuensi tuk mengejar kemajuan? Menggantikan pepohonan dengan menara- menara elit tinggi menjulang dan mengubah segalnya menjadi mesin tuk kemajuan teknologi. 

Dulu sering kubertanya-tanya, di akta kelahiranku kuterlahir di Ujung Pandang, apakah ini tanah Ujung Pandang yang kemudian berubah menjadi Makassar? Apakah penamaan Makassar juga efek dari kemajuan? Ah sama saja setiap kutanya, juga banyak orang yang belum mengetahuinya. *** Walcome tuk Fathun Mubina atau tepatnya Jayakarta yang kemudian berubah menjadi Jakarta. Sebuah ibu kota yang menyimpan jutaan sejarah kejayaan dan kepahlawanan , namun sayangnya begitu banyak orang lupa akan hakikat Jakarta yang sebenarnya. 

Lenyaplah sudah, entah apa yang menyebabkan kota yang dahulunya agung ini hingga berubah menjadi kota metropolitan. Ibu kota yang seharusnya menjadi kiblat tuk Nusantara kini telah tercemari dan ternoda, lalu kemanakah keteladanan tuk meneruskan pribadi pejuang leluhur? Apalah gunanya patung-patung pejuang di pajang ditengah-tengah kota, kalau hanyalah sekedar simbol tanpa menjadikannya ibroh dan teladan tuk penerusnya. Siapa mikir betapa indah negara ini yang berasaskan tauhid, suatu kebanggaan bukan? Tak ada satupun negara dengan pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa" melainkan Idonesia saja. Tiap menitnya kita kan menjumpai mereka para hafidz qur'an, berjumpa dengan ratusan pondok yang bertaburan menghiasi nusantara tentunya indah bukan? Negara dengan populitas islam terbesar yang dibanggakan negara lain sungguh itu sebuah prestasi. Lalu penghalang apalagi tuk mengubah Indonesia tuk maju ketika tauhid dan qur'an telah ada? Namun realita justru berkata sebaliknya, bagaimana mungkin bisa dikatakan maju tuk peradaban ketika tauhid dan islam sekedar simbol tuk identitas tanpa pengamalan. Mayoritas ada, tapi tuk realita kemanakah berada? Memang orang islam ada, tapi kemanakah dzat islam di dada? Pantaslah Turki dengan asas sekuler dialah yang maju dengan pengamalan ketauhidan dan Indonesia yang jelas berasas tauhid ternyata ialah yang terbelakang karena tak adanya pengamalan pada umumnya. Yang kaya semakin kaya menelan sumber daya dengan rakusnya, dan yang miskin semakin miskin melarat. Yang salah dialah yang benar dan yang benar terlihat salah. 

Apakah mereka para pemabuk, perampok, penjahat kelas bawah yang jelas tak memiliki visi-misi ,apakah merekalah yang terkejam berbahaya ataukah merekalah para koruptor yang merugikan bangsa dan negara? 

Terdesik dalam benak, seakan mengingat sesuatu dengan anggapan ku pernah hadir dimasa itu. Masa kejayaan dan keemasan, masa kemakmuran dan kesajehteraan, tegaknya keadilan tanpa kedzoliman, merdeka tanpa adanya penindasan, tegaknya kejujuran tanpa ada dusta, terjaganya amanah tanpa adanya pengkhianatan, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan. Sungguh islam pada ujung tombak peradaban keemasan, iman dan ketakwan menggelora didada pemudanya , agungnya wanita dengan menjaga nilai juga kehormatnnya, betapa indahnya kobaran bendera-bendera islam ditiap benteng-benteng kejayaan dan kemerdekaan. 

Hingga datang Mustafa Kemal Ataturk berkuasa mengubah segalanya, meruntuhkan pondasi satu persatu lalu menumbang, mengalihkan alam lalu memalingkan dari agamanya, adzan diubah lalu hijab dilarang, ulama-ulama dibunuh dan dibuang, lalu menjadikan islam hanya sebatas di mesjid dan mimbar saja. Kekhilafaan runtuh dan Sultan Abdul Hamid II ternyata ialah akhirnya. Berawal ketika semua orang hampir lupa dengan agamanya, lemahnya iman juga ketakwaan, lunturnya nilai dan moral, krisisnya jiwa juga kepribadian. 

Mesjid- mesjid bersenandung pilu, mimbar-mimbar menjerit berduka. Seketika cahaya itu meredup dan kegelapan perlahan menyelimuti. Alam berduka, lalu siapakah yang mengembalikan peradaban itu lagi? Suatu ketakutan menyelimutiku, setelah para tokoh pejuang leluhur rela berjuang 350 tahun menghadapi penjajah, setelah proklamasi 17 Agustus 1945 didengungkan. Akankah negeri ini akan hancur sebagamana runtuhnya Andalus dahulu setelah kemerdekaan dan kejayaan? 

Anak-anak krisis akan moral dan akhlak, para remaja sibuk akan gedget yang telah memperbudaknya, kaum hawa sibuk dengan fashion tuk kecantikan yang menipu, lalu bapak-bapak sibuk akan bisnisnya. Beribu mesjid megah berdiri, tetapi kosong dengan kesepian. Perpustakaan sunyi dengan tumpukan buku yang berdebu, lalu kemanakah mereka yang rindu tuk menggali keilmuan. Drakor perlahan menjajah akal dan pikiran generasi, apakah negara ini krisis kan kepahlawan sehingga harus berkiblat dengan oppa-oppanya? Entah apa yang menimpa hari ini, dan penyakait apa yang diderita ummat. Syubhat, khurofat atupun pamali, ta'shub ataupun fanatik serta bid'ah menyebar dan memecahkan persaudaraan. Pesatnya kemajuan komunikasi dan teknologi kini merusak kualitas akal dan pikiran. 

Kemalasan, kelalaian, serta syahwat telah menutupi mata tuk maju menuju peradaban. Kecemasan yang diliputi ketakutan, serta putus asa tanpa optimis,dan visi misi yang tak jelas menjadikan kepribadian bermental krupuk, lalu kemanakah generasi yang diharapkan. Lemahlah mimpi juga cita, iman dan takwa mengkriuk, sementara dengungan tuk kemenagan terus memanggil, namun sayang mereka tertidur. Kuteringat dengan kisah laut yang pernah kubaca disalah satu kitab. Tiap hari laut mengaduh dan mengeluh kepada Robb Sang Pencipta, dengan rasa jengkelnya terhadap ulah tangan-tangan manusia sehingga tiada hari melainkan meminta izin kepada Tuhan tuk menghancurkan Bani Adam, sebagaimana yang disabdakan Rosulullah: (( )) " tiada hari melainkan laut meminta izin kepada Robbnya tuk menenggelamkan Bani Adam" Apakah mungkin tsunami, banjir, gempa yang sering menimpa negara ini arti dari amukan laut? Ataukah sekedar bencana alam? 

*** "ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR" suara adzan membangunkan lamunanku juga membuat mobil yang kutumpangi terhenti mencari tempat tuk berparkir. Mesjid yang begitu indah dengan kubah berwarna emas, ah rasanya rindu tuk sholat di Quds. Kutatap lamat menara itu, merdu mendengungkan adzan dilangit-langit Nusantara membuatku harus bersyukur bahwa adzan masih berkomandan. Rasanya hati gemetar penuh rindu dan pilu, hingga air mata menetes ketika muadzzin berseru " " mari mendirikan sholat, mari menuju kemenangan. Apakah panggilan kemenangan inikah yang orang-orang abaikan? Bagaimana mungkin mata mampu terpejam tidur, berleha-leha mengabaikannya? Bagaimana mungkin telinga mengabaikan apa yang di serukannya? Bagaimana mungkin akal mampu menolak panggilan agung ini? 

Yah, pulang kembali keharibaanNya itulah kemenangan pada hakikatnya tuk meraih kejayaan dan kemerdekaan. *** Matahari perlahan-lahan semakin condong ke Barat menandakan hari semakin sore, cukup melewati Cibadak lalu menuju Cimenteng dan disitulah pondok tempatku bernaung tuk menjadi kader cendikiawan yang kan mencerahkan bangsa kelak, lalu mengukir sejarah keemasan dan mengembalikan kejayaan islam. 

Rasanya tak sabar lagi melampiaskan rindu tuk bertemu dengan mereka teman seperjuangan, rindu duduk bersama dalam tiap halaqoh-halaqoh ilmu, bersama mereka para masyaikh serta ustadz juga ustadzah yang sangat kucintai, yang telah mengajariku hakikat dan makna kehidupan yang sebenarnya dan yang sesungguhnya. Rindu bernostalgia bersama mereka dalam mengkaji alqur'an, hadits-hadits, juga ilmu-ilmu warisan para ulama.Rindu duduk bernostalgia dibawah kubah putih di tiap penghujung malam. 

Rindu bersama mereka menghafalkan bait-bait syi'ir para ulama, juga rindu bersama berjuang tuk mengikuti medan tempur ujian. Empat tahun bersama dalam satuan cita dan mimpi, sungguh sangat indah tuk dikenang. Tak terasa ternyata tahun ini ialah yang terakhir kalinya tuk bersama lalu berpisah tuk berlabuh di negeri seberang. 

Meneruskan dan menunaikan cita yang telah tertulis dalam peta impian tuk memperjuangkan cahaya islam.Tuk itu dan tuk segalanya ku ucakan terima kasih, moga rahmat dan keberkahan selalu menaungi. Kupunya pertanyaan yang selalu terbesik dalam benak, apakah masih ada pemuda yang susah memejamkan matanya tuk membuktikan janji Rosul tuk menaklukkan Roma, sebagaimana Muhammad Al-Fatih telah berhasil menaklukkan Konstatinia? Atau apakah ada sorang wanita yang berjuang keras memantaskan diri tuk melahirkan seorang Al-Fatih yang kan menaklukkan Rumm atau yang kan membebaskan Quds yang masih terjajah?

 Ainun Suci Qur'ani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun