Opini | Politik Ekonomi Internasional
Mahasiswa Ilmu Politik
Pada April 2025, Pemerintah Amerika Serikat resmi menerapkan tarif impor sebesar 32% terhadap berbagai produk asal Indonesia. Penerapan Standar pajak minimum internasional merupakan upaya AS tidak lain untuk untuk mendorong kesetaraan akses pasar. Negara merah putih ini menjadi salah satu yang terdampak langsung oleh kebijakan ini, dan meresponnya secara cepat dengan melakukan langkah diplomatik dan ekonomi. Tidak hanya memperlihatkan kekuatan ekonominya yang besar yang bisa menetapkan standar baru, tapi juga langsung mengguncang negara berkembang—sebuah bukti bahwa relasi ekonomi global tak lagi netral, melainkan penuh tarik-menarik kepentingan politik. Terbukti dari perbedaan tarif yang dikenakan Trump tergantung bagaimana tiap negara bisa menyelamatkan negaranya.
Hal terpenting bagi Indonesia di era perang dagang antara AS dengan China ini yang dampaknya menjalar ke semua negara adalah membentuk cara, strategi, maupun negosiasi untuk menyelamatkan dari gangguan pada pertumbuhan ekonomi negara. Pemerintah Indonesia segera memulai proses negosiasi. Melalui Kedutaan Besar RI di Washington, D.C., serta koordinasi antar kementerian, Indonesia menyampaikan keberatan resmi dan meminta dialog bilateral. Pada 16 April 2025, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memulai perundingan dengan pihak AS. Hasil awal negosiasi mencakup beberapa konsesi non-tarif, seperti komitmen peningkatan impor LNG dari AS serta rencana investasi perusahaan Indonesia di sektor energi Amerika. Namun, tarif 32% tersebut masih berlaku dan dalam masa evaluasi selama 60 hari. Proses ini menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi kini menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kepentingan nasional, bukan lagi sekadar urusan Kementerian Luar Negeri semata.
Secara ekonomi, kebijakan ini membawa dampak signifikan bagi Indonesia. Sektor ekspor utama seperti tekstil, elektronik, kelapa sawit, dan perikanan mengalami tekanan akibat meningkatnya biaya di pasar AS. Penurunan daya saing ini menyebabkan beberapa eksportir menunda pengiriman dan mempertimbangkan perluasan pasar alternatif. Pasar finansial juga merespons negatif: nilai tukar rupiah melemah dan indeks saham terkoreksi akibat ketidakpastian kebijakan ini. Dalam perspektif politik ekonomi, hal ini menjadi pengingat bahwa ketergantungan terhadap satu pasar besar dapat menjadi titik lemah strategis dalam stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian, pengaruh ekonomi ini biisa menentukan sektor lainnya. Ekonomi yang terganggu bisa menyebabkan pemerintah harus memperkuat diplomasi, adanya PHK yang meningkat ketika ekspor turun dan menyebabkan adanya demonstrasi, ketidakpuasan, maupun penurunan kepercayaan terhadap instansi politik. Tidak berhenti di situ, ekonomi yang lesu menyebabkan banyaknya pengangguran, kesenjangan sosial akan makin melebar, juga melemahkan posisi tawar Indonesia di forum Internasional
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa dampak jangka pendek dari kebijakan tarif ini bisa memicu kontraksi pada volume ekspor Indonesia sebesar 2–3% terhadap pasar Amerika. “Efek psikologisnya cepat terasa karena pelaku pasar langsung bereaksi atas ketidakpastian tarif ini,” ujarnya.
Dari sisi politik luar negeri, tantangan tarif ini menunjukkan perlunya keseimbangan strategis. Indonesia berupaya menjaga kemitraan strategis dengan AS sambil tetap melindungi kepentingan ekonominya. Pemerintah memanfaatkan forum multilateral seperti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dan G20 untuk memperjuangkan perdagangan yang adil dan pembangunan global yang inklusif. Diplomasi ekonomi Indonesia menekankan kerja sama saling menguntungkan, bukan sekadar perlawanan terhadap tekanan eksternal. Namun dalam kacamata mahasiswa politik, muncul pertanyaan: apakah forum-forum ini benar-benar efektif memberi ruang tawar yang setara bagi negara berkembang, atau sekadar panggung simbolik dalam sistem internasional yang timpang?
Secara lebih luas, kebijakan tarif ini menyoroti pentingnya kedaulatan fiskal dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal. Perdebatan global mengenai keadilan pajak semakin mengemuka, dan Indonesia berupaya memastikan perspektif negara berkembang mendapat tempat dalam forum internasional. Cara Indonesia menavigasi lanskap fiskal ini akan menentukan posisi tawarnya di masa depan. Di sinilah letak tantangan generasi muda: mendorong lahirnya strategi kebijakan luar negeri yang lebih progresif dan berbasis kepentingan nasional jangka panjang, bukan sekadar merespons tekanan global.
Kesimpulan: Kebijakan tarif 32% dari AS memberikan dampak nyata terhadap ekonomi Indonesia dan memperkuat urgensi strategi diplomasi ekonomi yang tangguh. Untuk meredam dampaknya, Indonesia perlu memperkuat daya saing domestik, memperluas pasar ekspor, dan membangun dukungan internasional guna menciptakan sistem perdagangan global yang lebih adil. Bagi mahasiswa dan pengamat politik, ini adalah momentum untuk mengawal arah kebijakan luar negeri kita agar lebih visioner, mandiri, dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI