Aku menatap cermin, nanar. Pantulan gadis dengan gaun pengantin putih gading serta polesan make up semakin membuat sesak dada. Tidak, tidak pernikahan ini yang membuat aku menyesal. Terlebih dari itu aku adalah wanita yang berbahagia memiliki takdir menikah dengan pria ini -calon suamiku.
Tangan gesit perias memoles pipiku, cepat dan tepat. Gerakan itu melambatkan pikiranku yang sejak satu jam lalu berlari gesit, lompat sana, balik.
"Cantik sekali kau, Ladi." puji seseorang dari belakang, aku menoleh.
Aku tersenyum, teman dekatku ini pintar memuji. Dia mendekat, pandangannya mengedar ke ruang pribadiku yang telah disulap menjadi kamar rias.
"Hei, what is wrong?" ucap Raa saat menemukan manik mataku.
"Tidak ada apa-apa."
Tetapi bukan Raa kalau dia tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan. Perias membenahi sedikit rambutku, kemudian meminta izin pergi. Mengambil sesuatu.
"Katakan, Ladi!" paksa Raa. Aku menggeleng. "Kau tidak senang dengan pernikahan yang akan berlagsung lima menit lagi?" Raa bertanya.
"Tidak, Raa... bukan itu, aku.. aku hanya teringat proses empat tahun lalu." aku menghela nafas panjang.
***
"Kita akan menikah, Ladi."