Mohon tunggu...
ain aini
ain aini Mohon Tunggu... Kuliah

Saya adalah seorang perempuan yang sangat suka menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cahaya menuju takdir

29 September 2025   19:07 Diperbarui: 29 September 2025   19:05 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

          Setiap manusia memiliki kisah hidup yang unik, penuh warna, dan penuh makna. Perjalanan hidup seseorang tidak hanya membentuk kepribadian, tetapi juga memberikan pelajaran yang berharga tentang arti perjuangan, cinta, kehilangan, dan harapan. Mengenal diri sendiri melalui sebuah tulisan autobiografi bukan sekadar menceritakan peristiwa masa lalu, tetapi juga menjadi sarana untuk merenungi anugerah Allah dan menyadari betapa kuatnya ikatan antara manusia dengan keluarga, pendidikan, dan cita-cita. Tulisan ini akan mengisahkan perjalanan hidup saya, Nur Aini, sejak masa kecil, pendidikan, hobi, hingga harapan besar yang ingin saya capai di masa depan.

          Masa kecil adalah fase penting dalam kehidupan karena di situlah karakter dasar seseorang mulai terbentuk. Begitu juga dengan saya yang lahir pada 28 Oktober 2005, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Sejak awal kehidupan, bahkan nama yang saya sandang pun membawa cerita tersendiri. Awalnya nama saya adalah Intan Nuraini, namun ketika saya berusia satu tahun setengah, bagian nama "Intan" dihilangkan. Orang-orang di desa percaya bahwa saya terlalu sering menangis karena keberatan nama. Maka, sejak saat itu saya dikenal sebagai Nur Aini, yang berarti "cahaya dua mata". Nama ini bukan sekadar sebutan, melainkan doa dan makna yang senantiasa menemani perjalanan hidup saya.

          Masa kecil saya banyak diwarnai oleh kasih sayang keluarga, khususnya ibu. Saya menempuh pendidikan dasar bukan di sekolah umum, melainkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Roudhotul Qur'an. Dari semua teman TK saya, hanya saya yang melanjutkan ke MI, sementara yang lain bersekolah di SD. Kondisi ini membuat saya sering merasa berbeda, bahkan sering diganggu oleh teman-teman. Saya sering menangis saat berangkat sekolah, namun ibu selalu hadir untuk menenangkan, mendukung, dan membela saya. Dari sanalah saya belajar arti keteguhan hati seorang ibu dalam menemani anaknya tumbuh.

          Meski masa kecil penuh dengan tantangan, prestasi akademik selalu menjadi kebanggaan saya dan keluarga. Dari kelas 1 hingga kelas 6 MI, saya tidak pernah absen dari tiga besar peringkat kelas. Setiap kali berhasil meraih prestasi, ibu dan ayah selalu memberikan hadiah sebagai bentuk apresiasi. Hal sederhana ini menumbuhkan semangat belajar saya sejak kecil.

          Masa remaja merupakan masa transisi yang penuh perubahan, termasuk dalam hal pendidikan. Setelah lulus dari MI, saya melanjutkan perjalanan ke Pondok Pesantren Al Maliki, Duren Dawuhan Lor, Sukodono. Memasuki pondok pesantren bukanlah hal mudah, baik bagi saya maupun keluarga. Ibu dan ayah sangat berat melepas saya, bahkan sering menangis karena merasa jauh dari saya. Meski demikian, mereka tetap mengikhlaskan demi pendidikan agama yang lebih kuat.

          Kehidupan di pondok penuh suka duka. Ada cerita yang sampai sekarang tidak pernah saya lupakan. Suatu ketika, saat bulan Ramadan, ibu dan ayah datang mengirimkan kebutuhan. Setelah pulang, mereka kembali lagi karena ada yang tertinggal di pondok. Saat itu ibu melihat saya sedang menyiapkan makanan berbuka untuk teman-teman menggunakan wadah seadanya berupa kantong plastik, karena kamar saya tidak memiliki wadah. Pemandangan itu membuat ibu menangis karena merasa tidak tega. Momen tersebut selalu terpatri sebagai simbol cinta seorang ibu yang tidak pernah padam.

          Selain belajar agama, saya juga menyalurkan bakat di bidang pidato. Sejak kecil saya memang suka berbicara di depan umum, bahkan sering diundang untuk tampil. Di pondok, bakat ini semakin terasah. Setiap ada lomba pidato, saya selalu berusaha tampil maksimal hingga beberapa kali meraih juara.

          Saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah (MA) Al Maliki yang terintegrasi dengan pondok. Namun, ketika saya kelas 1 MA, cobaan berat datang. Ibu jatuh sakit, begitu juga ayah. Karena itu, saya memilih tidak kembali ke pondok sementara waktu demi mendampingi mereka. Hanya lima hari setelah saya pulang, takdir Allah datang: ibu wafat. Saat itu, dunia serasa runtuh. Kehilangan ibu membuat saya merasa tidak punya keinginan lain kecuali berharap beliau hidup kembali. Saya sempat kehilangan semangat untuk melanjutkan pondok, tetapi ayah justru menjadi penguat, mendorong saya untuk tetap melanjutkan perjuangan, sesuai dengan cita-cita ibu.

          Salah satu momen yang menguatkan saya adalah ketika saya menemukan kembali sebuah surat dari ibu yang dulu pernah beliau titipkan. Dalam surat itu, ibu berpesan agar saya kuat iman, istiqamah, dan berjuang untuk menjadi seorang guru. Padahal, sejak kecil saya bercita-cita menjadi dokter. Namun, karena pesan ibu itulah saya menata ulang niat dan tekad, menjadikan jalan mengajar sebagai cita-cita baru. Sejak saat itu, segala perjuangan di pondok saya jalani dengan penuh keikhlasan, demi memenuhi pesan ibu yang tercinta.

          Pendidikan tinggi adalah gerbang menuju masa depan. Saya menyelesaikan enam tahun pendidikan di pondok dengan penuh perjuangan. Awalnya, saya berencana melanjutkan kuliah di Politeknik Negeri Jember (Polije). Namun, takdir Allah membawa saya ke Institut Islam Syarifuddin Wonorejo, Lumajang. Meski bukan rencana awal, saya belajar menerima dengan ikhlas karena saya yakin setiap takdir Allah selalu mengandung kebaikan.

         Saat ini, selain menempuh kuliah, saya juga sudah mendapat kesempatan untuk mengajar di sekolah dasar. Mengajar bukan hanya pekerjaan, tetapi juga jalan untuk memenuhi cita-cita ibu. Setiap kali berdiri di depan kelas, saya merasa sedang menjalankan amanah beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun