‘Hidup itu memang berat. Kamu sebagai laki-laki harus kuat!’
‘Tidak ada masalah yang terjadi tanpa disertai solusi. Banyak-banyak berdoa, pasti Tuhan akan menolongmu.’
‘Mungkin kamu kurang sembayang, makanya hatimu tidak tenang.’
‘Kamu kurang bersyukur, Nak. Lihat sekelilingmu, masih banyak yang kesusahan dan bertahan hidup. Itu cara agar bisa bersyukur.’
‘Coba cari pasangan! Mungkin kamu kesepian karena masih sendiri. Apa perlu saya bantuin cari jodoh? Hahahaha.’
Raka tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menjadi baik. Semakin hari ia kian terpuruk karena menanamkan kata ‘aku baik-baik saja’ dalam diri. Hingga puncaknya, ia memilih untuk mengakhiri hidup. Sudah dua kali percobaan dan gagal.
Hari berganti lagi. Tetapi suasana yang menyelubungi diri Raka sama saja. Suram. Tak berbentuk. Sulit dilukiskan. Satu bulan dilalui Raka bagai seribu tahun lamanya, tanpa harapan. Hanya berdoa kelak Tuhan berbaik hati mau membebaskan hidupnya, mungkin dengan cara memotong usianya.
Setiap malam, Raka merenung di rooftop dan melihat pemulung yang sama dengan tempo lalu, melakukan hal yang sama pula, dengan sikap tak jauh berbeda. Satu minggu berlalu, Raka melihat pemulung itu lagi dan mengambil sikap baru. Ia segera turun ke lantai dasar, mengambil jatah nasi kotak miliknya dan keluar menemui pemulung yang sibuk memilah sampah.
Gerakan tangan si pemulung terhenti tatkala Raka menyodorkan nasi kotak. Si pemulung pun tersenyum menatap Raka.
“Untuk Nenek?”
Raka mengangguk.