Pernyataan Bahrain, perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada sidang judicial review pasal-pasal kesusilaan KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (22/09) silam mendapat kecaman dari berbagai pihak. Sebelumnya, Bahrain mengemukakan pendapatnya bahwa hak privat seseorang adalah bagian dari harkat dan martabatnya.
“Hak atas privasi juga berkaitan erat dengan harkat, derajat, dan kehormatan sebagai manusia, hak atas kesetaraan, dan hak untuk tidak didiskriminasikan, serta hak untuk tidak diperlakukan secara tidak manusiawi, serta berkaitan dengan hak menyatakan pendapat dan berkumpul,” ungkap Bahrain di hadapan Majelis Hakim.
Atas prinsip kebebasan tersebut, Bahrain juga mengungkapkan bahwa aktivitas seksual atas dasar suka sama suka termasuk ke dalam hak privat setiap individu.
“Aktivitas seksual masuk dalam kategori dan definisi urusan pribadi, karena tidak satu pun orang mempunyai hak yang mempertanyakan bagaimana dua orang dewasa yang atas kesepakatan atau suka sama suka melakukan hubungan seksual,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, pernyataan sejenis juga telah mengundang kritik tajam. Dalam wawancara dengan tim media AILA pada hari Ahad (11/09) yang lalu, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, salah seorang pemohon uji materi, menyatakan dengan tegas bahwa perzinaan bukanlah masalah pribadi.
“Yang berzina itu juga punya keluarga. Ibu dan bapak dari para pezina itu pasti akan sangat terganggu dengan perzinaan yang dilakukan oleh anak-anak mereka. Kalau hamil, lantas yang menghamilinya kabur karena tidak mau bertanggung jawab, apa itu juga akan dianggap masalah pribadi seperti orang yang sakit bisul?” tandasnya pada saat itu.
Komentar pedas juga datang dari Akmal Sjafril, Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI). Menurutnya, pandangan YLBHI yang dikemukakan melalui utusannya itu perlu dikritisi. “Menghubungkan zina dengan harkat dan martabat manusia itu adalah pemikiran yang absurd. Justru zina telah melucuti manusia dari harkat dan martabatnya sendiri. Di seluruh dunia, zina tidak dianggap sebagai perilaku bermartabat, apalagi di Indonesia yang masyarakatnya masih sangat religius ini,” ungkapnya.
Menurut Akmal, justru karena manusia memiliki martabat yang lebih mulia daripada binatang, maka manusia tidak selayaknya berzina.
“Bagi binatang, kawin itu cuma urusan jadwal saja. Kalau sudah musim kawin ya kawin. Kawin dengan siapa terserah, yang penting dengan lawan jenis. Kadang yang jantan berkelahi untuk mendapatkan pasangan. Setelah kawin, hampir semua spesies binatang tak mempedulikan lagi pasangannya, alias pergi begitu saja,” tandasnya.
Karena manusia adalah makhluk yang paling mulia, menurut Akmal lagi, maka tidak sepantasnya bercermin kepada binatang.
“Bagi manusia, seks ada tempatnya, harus dalam kerangka pernikahan. Menikah pun tidak bisa asal-asalan, harus ada ikatan perjanjian, disaksikan orang agar tak ada fitnah, dan sekali berikrar tak boleh gampang dilepaskan. Sudah menikah ya berkeluarga, membesarkan anak, bahkan cita-cita kebersamaannya sampai ke akhirat. Lalu para pezina, di mana martabatnya? Di mana kemanusiaannya?” pungkas Akmal beretorika.