Saya makin sering membaca berita ekonomi setahun belakangan. Pada bulan tertentu linimasa penuh dengan berita soal PHK massal. Serta pabrik-pabrik yang tutup.
Ribuan orang kehilangan kerja. Harga barang yang makin berat dikejar penghasian.
Rasanya aneh. Kok setahun pemerintahan baru yang mengumbar ambisi hilirisasi. Kenapa lapangan kerja di pabrik-nya makin menyusut?
Sebagai warga kelas menengah. Saya bilang, deindustrialisasi kini terasa nyata di depan mata.
Indonesia menunjukkan gejala deindustrialisasi prematur selama tahun pertama Prabowo Gibran. Melemahnya manufaktur padat karya dan kualitas kerja formal. Kebijakan hilirisasi mineral belum membangun jembatan nyata ke sektor padat karya.
-
Sinyal deindustrialisasi terlihat jelas di data dan berita. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia 50,4 pada September 2025,. Turun dari 51,5 Agustus (S&P Global, 2025; The Jakarta Post, 2025).
Ini menunjukkan pelemahan. Meski belum ke zona resesi. Pabrik-pabrik tekstil di Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau melakukan PHK massal.
Sampai Mei 2025, 26.455 pekerja kehilangan kerja. Mayoritas sektor tekstil, alas kaki, dan furnitur (Kemnaker, 7 April 2025).
Kabar pabrik besar seperti Sritex menutup usaha dan mem-PHK 11 ribu pekerja, bikin saya was-was. Saya membayangkan betapa rentannya pekerjaan sektor ini saat ekonomi lesu.
-