Satu hal lain yang bikin kasus ini kian serius adalah keterlibatan aparat aktif. Tim kejahatan disebut melibatkan dua prajurit Kopassus, Serka N dan Kopda FH.
Pomdam Jaya mengonfirmasi keterlibatan keduanya (Tirto, 2025). Mereka dijanjikan bayaran besar, sekitar Rp 100 juta sampai Rp 150 juta, untuk membantu aksi penculikan (Tempo, 2025).
Begitu unsur militer masuk, skala perkara berubah. Ini bukan lagi sekadar kejahatan finansial.
Ini operasi kriminal terorganisir yang bertumpu pada intimidasi. Serka N dan Kopda FH kini berstatus tersangka. Dengan proses hukum yang berjalan di pengadilan militer dan diklaim transparan (Mistar, 2025).
Jika ditarik ke hulu, sorotan mestinya jatuh pada sumber bocornya data sensitif. Nilai kerugian Rp 204 miliar memperkuat dugaan itu.
C alias K disebut punya akses yang sangat luas terhadap data nasabah. Pengamat Alfons Tanujaya menyebut kondisi ini janggal.
Bagaimana mungkin orang luar bank bisa mengetahui daftar rekening dormant di berbagai bank sekaligus (Tirto, 2025). Ini menyiratkan kebocoran data dalam skala besar dari sumber yang lebih tinggi.
Kemungkinan ada dari internal bank. Apalagi sudah ada oknum karyawan bank yang ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam sindikat Rp 204 miliar ini.
Bahkan C alias K, yang disebut sebagai dalang, berani mengaku sebagai bagian dari Satgas Perampasan Aset (CNN Indonesia, 2025). Berani sekali, bukan?
Dari sini terlihat betapa rapuhnya sistem keamanan data perbankan ketika data dormant jatuh ke tangan kriminal. Padahal bank wajib menjaga kerahasiaan nasabah.
Kebocoran seperti ini pukulan telak. Ia menguak celah perlindungan data yang seharusnya kokoh.