Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aura Digital: Ilusi Keren yang Dapat Dipanen dan Risiko Psikologisnya

11 Oktober 2025   11:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   16:07 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pacu jalur atau perlombaan mendayung khas Kabupaten Kuantan Singingi. (DOK. Humas Pemprov Riau via Kompas.com)

Para psikolog memandangnya sebagai strategi presentasi diri. Upaya menampilkan versi terbaik diri bergeser dari prestasi akademik ke detail kecil yang membangun kesan.

Contohnya mudah ditemui di media sosial: foto moody dengan keterangan minim, interaksi yang ditahan agar tetap berjarak.

Semua untuk mengejar "aura points". Poin bertambah saat kita tampak effortless. Poin berkurang ketika terlihat benar-benar try hard.

Ada pola yang sering diikuti para pelakunya. Pertama, tenang di tengah kekacauan. Kedua, gerakan minimalis yang terukur, karena gestur kecil bisa memancarkan percaya diri.

Ketiga, penataan sinematis, dengan cahaya dan latar yang dramatis. Terakhir, misteri lewat penahanan diri. Jarang berbagi membuat orang penasaran, seolah sedang menatap komoditas langka (ELLE India, 2025).

Kenapa tren ini memikat? Budaya digital mendorong oversharing. Akibatnya, misteri justru jadi barang mahal.

Aura farming memberi ruang untuk menahan diri dan membiarkan publik menerka. Algoritma pun menyukainya.

Platform mendorong konten visual yang singkat dan mudah ditiru. Gestur sederhana gampang di-remix lintas negara. Ekspresi dingin menyebar cepat.

Tetapi ada harga yang harus dibayar. Konsep aura sangat rapuh. Ia bisa runtuh kapan saja. Realitas mudah bocor ke citra yang sudah dirawat, dan satu kegagalan kecil bisa merusak aura yang dikumpulkan berbulan-bulan.

Dampak terberatnya psikologis. Times of India (2025) mengingatkan, obsesi untuk selalu tampak keren bisa memicu kecemasan dan burnout digital. Apalagi jika citra tidak selaras dengan diri yang sebenarnya. Semua ini berlangsung di ruang maya.

Lalu ada kasus Rayyan Arkan Dhika, yang justru membelokkan narasi. Serambinews (2025) mencatatnya sebagai anomali yang melemahkan premis farming.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun