Para psikolog memandangnya sebagai strategi presentasi diri. Upaya menampilkan versi terbaik diri bergeser dari prestasi akademik ke detail kecil yang membangun kesan.
Contohnya mudah ditemui di media sosial: foto moody dengan keterangan minim, interaksi yang ditahan agar tetap berjarak.
Semua untuk mengejar "aura points". Poin bertambah saat kita tampak effortless. Poin berkurang ketika terlihat benar-benar try hard.
Ada pola yang sering diikuti para pelakunya. Pertama, tenang di tengah kekacauan. Kedua, gerakan minimalis yang terukur, karena gestur kecil bisa memancarkan percaya diri.
Ketiga, penataan sinematis, dengan cahaya dan latar yang dramatis. Terakhir, misteri lewat penahanan diri. Jarang berbagi membuat orang penasaran, seolah sedang menatap komoditas langka (ELLE India, 2025).
Kenapa tren ini memikat? Budaya digital mendorong oversharing. Akibatnya, misteri justru jadi barang mahal.
Aura farming memberi ruang untuk menahan diri dan membiarkan publik menerka. Algoritma pun menyukainya.
Platform mendorong konten visual yang singkat dan mudah ditiru. Gestur sederhana gampang di-remix lintas negara. Ekspresi dingin menyebar cepat.
Tetapi ada harga yang harus dibayar. Konsep aura sangat rapuh. Ia bisa runtuh kapan saja. Realitas mudah bocor ke citra yang sudah dirawat, dan satu kegagalan kecil bisa merusak aura yang dikumpulkan berbulan-bulan.
Dampak terberatnya psikologis. Times of India (2025) mengingatkan, obsesi untuk selalu tampak keren bisa memicu kecemasan dan burnout digital. Apalagi jika citra tidak selaras dengan diri yang sebenarnya. Semua ini berlangsung di ruang maya.
Lalu ada kasus Rayyan Arkan Dhika, yang justru membelokkan narasi. Serambinews (2025) mencatatnya sebagai anomali yang melemahkan premis farming.