Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jebakan Narasi Damai: Senjata Baru Otoritarianisme Modern

11 Oktober 2025   01:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:21 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Negara Asing asal Ukraina saat aksi damai depan Kantor Konsulat Ukraina, Denpasar (1/3/2022) (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Dalam setiap pertarungan politik, protes selalu jadi arena utama. Perdebatan sering berhenti pada pilihan biner: keras atau damai. Dua-duanya, faktanya, pernah mendorong perubahan.

Daniel Q. Gillion (2013) menulis soal ini. Menurutnya, protes kekerasan kadang punya efek positif karena bekerja sebagai sinyal informasi bagi para pembuat kebijakan. Tapi pandangan itu bukan arus utama. 

Banyak riset justru menemukan sebaliknya: kampanye nirkekerasan cenderung lebih efektif, bahkan dua kali lebih mungkin berhasil (Chenoweth & Stephan, 2011).

Masalahnya, fokus pada dikotomi metode sering menutupi persoalan inti. Yang lebih mendesak adalah bagaimana otoritarianisme modern bekerja hari ini.

Mereka masuk ke ruang demokrasi untuk mematikan amarah dan meredam tuntutan. Mereka tidak tampil sebagai fasis klasik, juga tidak selalu militeristik secara terang-terangan. Mereka beradaptasi, menyusup, dan hidup di dalam prosedur demokrasi.

Kronik Otoritarianisme Indonesia (2025) menggambarkan pola ini: rezim otoriter meniru praktik demokrasi, menunggangi semangat egalitarian, dan pada akhirnya menjaga status quo elite. Itu tujuan besarnya.

Mereka paham benar betapa kuatnya opini publik. Legitimasi kekuasaan, pada akhirnya, bertumpu di sana. Karena itu, mengelola opini publik jadi strategi andalan. Mao Zedong, jauh sebelum merebut kekuasaan, menegaskan pentingnya hal ini (Wilson, 1977).

Para pemimpin otoriter lalu merawat citra, merakit mitos nasionalisme, dan memoles rekam jejak patriotik. Begitu citra runtuh, risiko gejolak meningkat. Dan bila gejolak membesar, hasilnya bisa meledak tanpa kendali.

Kultus citra membawa banyak kerusakan. Ia melahirkan praktik politik citra yang mempercepat pembusukan politik (Taqwah, 2013).

Realitas dipelintir, tanggung jawab dicuci bersih. Jarang sekali pemimpin otoriter benar-benar ditagih akuntabilitas oleh rakyat melalui pemilu bebas.

Namun rasa waswas digulingkan tidak pernah hilang. Karena itu, para autokrat berusaha memaksimalkan masa jabatan mereka (Weiss & Dafoe, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun