Nama Hendrik Robert van Heekeren punya jalan hidup yang tidak biasa. Ceritanya adalah tentang dedikasi yang nyaris keras kepala pada ilmu.
Ia ilmuwan dengan jejak panjang yang menempel kuat pada arkeologi Indonesia. Di kalangan kolega, ia akrab dipanggil Bob.
Ia lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 23 Juni 1902 (Soejono, 1976). Bob berasal dari keluarga Belanda yang bermigrasi ke Hindia Belanda.
Ia sempat dibawa ke Belanda untuk sekolah dan menuntaskan pendidikan dasarnya di sana. Lalu, takdir menariknya kembali ke Jawa.
Ia bekerja di perkebunan tembakau di Jember. Anehnya, justru monumen dan artefak purba yang merebut perhatiannya. Bob berteman akrab dengan para tetua desa, yang ia sebut sebagai guru sejati.
Dari mereka ia belajar pengetahuan lokal, termasuk ritus sejarah. Pertemuan itu membentuk dirinya. Ia kemudian dikenal sebagai arkeolog yang sangat bersemangat (Soejono, 1976).
Bob juga naturalis dan pendaki gunung. Gabungan minat itu pas untuk seorang penjelajah masa lalu.
Bob mulai menulis pada 1931. Tulisan perdananya terbit di majalah Djawa dengan judul "Megalitische overblijfselen ind Besoeki".
Sejak saat itu ia menelurkan puluhan makalah, kebanyakan tentang prasejarah Indonesia. Semangat jelajahnya membawanya masuk ke gua-gua, dari megalitikum di Besuki sampai lekuk karst Sulawesi Selatan.
Di sana, ia menyusun uraian tentang budaya Toala. Ia mencatat temuan alat kasar epipalaeolithic dan berbagai kapak batu yang rinci.
Penggalian sistematis ia lakukan di Flores, membuka situs Liang Rundung dan Liang Soki. Hasilnya tidak main-main: kerangka manusia purba dan serpih pisau neolitikum.
Satu bab hidupnya terasa dramatis. Bob menjadi tawanan perang Jepang setelah invasi ke Jawa pada 1942.
Ia ditangkap dan dipaksa bekerja di Rel Kereta Api Kematian di antara Siam dan Burma, dengan kondisi kerja yang brutal dan mematikan. Ribuan nyawa melayang. Film The Bridge on the River Kwai mencoba menggambarkan suasana kamp itu (SAPIENS, 2021).
Di tengah penahanan, tekadnya tidak surut. Ia memanfaatkan sela waktu untuk tetap meneliti. Bob menganalisis lapisan tanah dari galian rel kereta api, mencatat setiap hari sebisa mungkin, bahkan mengumpulkan koleksi kecil artefak.
Catatan itu lalu jadi "Prehistoric Discoveries in Siam, 1943-44", terbit di Cambridge (van Heekeren, 1948). Ia menuliskan pengalamannya, termasuk momen ketika ia hanya diizinkan berenang sebentar, dan di situ ia buru-buru melakukan penyelidikan.
Kegiatannya sempat dipergoki. Koleksi dan catatannya disita, dan ia menerima hukuman.
Namun ambisinya tidak padam. Bob dipindahkan ke kamp tawanan lain yang kondisinya lebih buruk.
Anehnya, koleksi itu kemudian kembali kepadanya berkat seorang teman yang menyerahkannya setiba di kamp. Setelah itu ia memilih jalur yang lebih aman secara institusional.
Koleksinya diamankan dari risiko penyitaan dan dititipkan di Amerika Serikat, tepatnya di Peabody Museum Harvard University (SAPIENS, 2021).
Sesudah perang, tekadnya muncul lagi. Ia kembali ke situs di Thailand untuk penelitian ulang.
Hasil ekskavasi diterbitkan sebagai buku pada 1967. Ia ikut merevitalisasi situs-situs penting dan disebut menyelamatkan pemakaman mesolitikum pertama yang berumur sekitar sepuluh ribu tahun.
Penelitiannya tentang dominasi moluska sebagai bahan pangan masa lalu menjadi rujukan penting di Asia Tenggara.
Bob kembali bekerja di Indonesia pada 1946 sampai 1956. Ia menjadi profesional di dinas arkeologi dan memegang posisi terkemuka di Dinas Arkeologi Indonesia.
Perannya krusial pada masa transisi. Ia menelusuri banyak situs penting di Jawa, juga sarkofagus di Bali.
Ia aktif membimbing mahasiswa Indonesia. R. P. Soejono termasuk muridnya dan kelak menjadi kolega di proyek NIAS (ScholarSpace, 1976).
Bob memastikan metode kerja yang sistematis tetap dipakai, meski anggaran terbatas.
Dalam waktu sekitar satu dekade, temuan besarnya berderet. Ia menemukan lukisan batu pertama di Sulawesi. Melacak jejak neolitik di Kalumpang. Dan mencatat serpihan paleolitikum di Cabbenge.
Ia meneliti sistem pemakaman guci di Anyer. Sebagai Kurator Prasejarah di Museum Pusat Jakarta, ia menyusun katalog koleksi dan menulis buku Kehidupan Prasejarah di Indonesia pada 1955.
Dua bukunya kemudian menjadi pilar studi prasejarah Nusantara. Zaman Batu di Indonesia terbit pada 1957, dengan edisi kedua pada 1972.
Judul berikutnya, Zaman Perunggu-Besi Indonesia, keluar pada 1958. Karya-karya itu merangkum data yang luas dan menempatkan Nusantara dalam konteks Asia Tenggara.
Atas kiprahnya, Bob menerima gelar Doctor Honoris Causa dari tiga universitas. Ia terus kembali ke Tanah Air setelah itu.
Van Heekeren meninggal di Belanda pada 10 September 1974. Kepergiannya menghentikan rencana penulisan edisi kedua salah satu bukunya.
Namun intinya jelas. Kisah Bob adalah tentang ketahanan intelektual.
Ia menunjukkan bahwa ilmu bisa menjadi cara untuk bertahan hidup. Metodologi yang ia tinggalkan tetap kokoh. Bahkan serpihan batu pun, di tangannya, terus bicara.
***
Referensi:
- SAPIENS. (2021). An Archaeologist on the Railroad of Death - SAPIENS -- Anthropology Magazine. Diambil dari https://www.sapiens.org/archaeology/hendrik-robert-van-heekeren/
- ScholarSpace. (1976). From left to right, R. P. Soejono, H. R. van Heekeren, and W. G. Solheim II - ScholarSpace. Diambil dari https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/bitstreams/2149e3d4-78b9-460b-bbd4-a2fbb949cd65/download
- Soejono, R. P. (1976). Hendrik Robert van Heekeren: 1902-1974. Asian Perspectives, 18(2), 107-113.
- van Heekeren, H. R. (1948). Prehistoric Discoveries in Siam, 1943-44. Proceedings of the Prehistoric Society, 14, 24-32.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI