Satu bab hidupnya terasa dramatis. Bob menjadi tawanan perang Jepang setelah invasi ke Jawa pada 1942.
Ia ditangkap dan dipaksa bekerja di Rel Kereta Api Kematian di antara Siam dan Burma, dengan kondisi kerja yang brutal dan mematikan. Ribuan nyawa melayang. Film The Bridge on the River Kwai mencoba menggambarkan suasana kamp itu (SAPIENS, 2021).
Di tengah penahanan, tekadnya tidak surut. Ia memanfaatkan sela waktu untuk tetap meneliti. Bob menganalisis lapisan tanah dari galian rel kereta api, mencatat setiap hari sebisa mungkin, bahkan mengumpulkan koleksi kecil artefak.
Catatan itu lalu jadi "Prehistoric Discoveries in Siam, 1943-44", terbit di Cambridge (van Heekeren, 1948). Ia menuliskan pengalamannya, termasuk momen ketika ia hanya diizinkan berenang sebentar, dan di situ ia buru-buru melakukan penyelidikan.
Kegiatannya sempat dipergoki. Koleksi dan catatannya disita, dan ia menerima hukuman.
Namun ambisinya tidak padam. Bob dipindahkan ke kamp tawanan lain yang kondisinya lebih buruk.
Anehnya, koleksi itu kemudian kembali kepadanya berkat seorang teman yang menyerahkannya setiba di kamp. Setelah itu ia memilih jalur yang lebih aman secara institusional.
Koleksinya diamankan dari risiko penyitaan dan dititipkan di Amerika Serikat, tepatnya di Peabody Museum Harvard University (SAPIENS, 2021).
Sesudah perang, tekadnya muncul lagi. Ia kembali ke situs di Thailand untuk penelitian ulang.
Hasil ekskavasi diterbitkan sebagai buku pada 1967. Ia ikut merevitalisasi situs-situs penting dan disebut menyelamatkan pemakaman mesolitikum pertama yang berumur sekitar sepuluh ribu tahun.
Penelitiannya tentang dominasi moluska sebagai bahan pangan masa lalu menjadi rujukan penting di Asia Tenggara.