Demokrasi itu hidup dari keterbukaan. Ukurannya sederhana. Seberapa transparan proses pengisian jabatan publik.
Di titik ini KPU sedang diuji. Mereka menerbitkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025. Dan keputusan itu langsung jadi kontroversi karena membatasi akses publik.
Dokumen calon presiden dan wakil presiden dimasukkan ke kategori dikecualikan. Tak heran, kritik datang bertubi-tubi.
Ini bukan soal administrasi belaka. Tarik ulurnya menyentuh hal yang paling mendasar: hak publik berhadapan dengan rahasia pribadi.
Ketika dokumen penting dikecualikan, publik wajar merasa gerah. Yang dimaksud antara lain ijazah dan LHKPN.Â
Informasi seperti ini dipakai masyarakat untuk mengawasi. Pemilih berhak mengenal kandidat secara utuh. Menutup akses berarti menggerus hak itu.
KPU menyebut ada landasan hukum. Rujukannya UU KIP yang memang mengatur pengecualian informasi publik bila sifatnya rahasia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bila dibuka.
KPU mengklaim sudah melakukan uji konsekuensi dan mencoba menyeimbangkan hak publik dengan perlindungan data sensitif. Argumen ini, kata para pakar, tidak tepat.
Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk FOINI, melayangkan sanggahan keras. Mereka menilai keputusan KPU cacat logika dan bertentangan dengan hukum.
Langkah korektif KPU pun dinilai reaktif, muncul setelah protes publik meluas. Bahkan pembatalannya disebut bukan inisiatif KPU sendiri menurut FOINI dan PWYP Indonesia.
Intinya, budaya keterbukaan di internal KPU masih lemah. Padahal UU KIP menegaskan bahwa pengecualian harus ketat dan terbatas.