Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alun-alun Demokrasi Cuma Aksesori, Jika Watak DPR Tetap Tertutup

9 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 1 Oktober 2025   23:12 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana soal ruang khusus demonstrasi di Kompleks DPR/MPR kembali mencuat. Menteri HAM Natalius Pigai yang melempar gagasan ini. Ia menyebutnya langkah strategis untuk memperkuat demokrasi substantif (Antara News, 2025).

Argumennya sederhana: unjuk rasa kerap bikin macet dan memicu benturan karena berlangsung di jalan raya. Maka, solusi fisiknya adalah menyediakan tempat khusus di halaman DPR. Dengan begitu, hak warga dan ketertiban umum sama-sama terjaga.

Sebenarnya ini bukan ide baru. Dulu DPR pernah mengusulkan "Alun-alun Demokrasi" dalam Rencana Strategis 2015-2019. Kapasitasnya diproyeksikan sekitar 10.000 orang, lokasinya membentang di Taman Rusa dan area parkir (detikNews, 2015).

Tujuannya sama, menampung massa besar agar tidak tumpah ke jalan.

Masalahnya, banyak pengamat meragukan efektivitas pendekatan ini. Terlihat seperti memfasilitasi, tapi bisa jadi cuma tempelan kebijakan. Peneliti Formappi menyebut ruang demonstrasi tak lebih dari aksesoris demokrasi (Kompas.com, 2025).

Akar persoalan dianggap bukan semata lokasi, melainkan watak DPR yang belum demokratis. Di sinilah logika usulannya goyah. Pigai menganggap biang keroknya adalah ketertiban umum, lalu menawarkan isolasi lokasi sebagai obat.

Ini seperti membalik sebab akibat. Kemacetan dan gesekan sering muncul karena kompleks DPR tertutup.

Ketika wakil rakyat enggan menemui massa, demonstran bertahan lebih lama, melebar ke jalan umum. Intinya menyangkut mentalitas anggota dewan. Infrastruktur fisik tidak akan mengubah mentalitas politik.

Ruang demonstrasi yang terisolasi juga berisiko mengaburkan esensi protes. Protes itu soal kekuatan publik dan visibilitas.

Jika aksi dipindahkan ke ruang tersembunyi, daya tekan politiknya memudar. Pesan tak lagi sampai ke khalayak luas, pembuat kebijakan pun merasakan tekanan yang lebih kecil.

Padahal kebebasan berpendapat dijamin Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, dan ditegaskan lagi dalam UU No. 9 Tahun 1998. Hak ini tidak boleh dipangkas dengan alasan ketertiban semata.

Menteri Pigai mencontohkan praktik di negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat (Antara News, 2025).

Perbandingan ini perlu konteks. Di AS ada konsep free speech zones yang kontroversial. Para pegiat sipil menilainya sebagai bentuk sensor terselubung karena menaruh demonstran di luar pandangan, sehingga dampak politiknya berkurang (Wikipedia).

Di Inggris, Parliament Square pun bukan ruang bebas sepenuhnya. Kawasan itu berstatus controlled area. Protes diatur ketat oleh undang-undang tahun 2011, lalu diperkuat lagi pada 2014 (GOV.UK).

Negara maju cenderung mengatur demonstrasi dengan detail, bukan sekadar menyediakan lapangan tanpa pengelolaan.

Kekhawatiran lain datang dari pegiat HAM. Bila tempatnya terbatas dan kapasitasnya kecil, muncul risiko pilah-pilih kelompok. Yang kompromistis mungkin diizinkan, yang kritis ditekan. Ini jelas membatasi hak berdemo itu sendiri (Kompas.com, 2025).

Pada titik itu, usulan Pigai bisa berbalik destruktif jika keliru diterapkan. Pemerintah tidak boleh membatasi aksi hanya di satu lokasi itu.

Fokus seharusnya bergeser ke hal yang lebih substantif. Lembaga negara perlu menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam proses kebijakan. Aturannya bisa mewajibkan anggota komisi DPR keluar menemui perwakilan demonstran.

Transparansi dan akuntabilitas harus jadi standar, terutama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar membangun plasa. Lapangan di kompleks DPR hanyalah aspek prosedural.

Solusi yang sesungguhnya adalah perubahan sikap di DPR. Wakil rakyat harus membuka diri dan bertindak akuntabel. Tanpa itu, ruang demonstrasi apa pun hanya akan terasa seperti penjara, sekaligus memperkecil kebebasan berpendapat. 

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun