Wacana soal ruang khusus demonstrasi di Kompleks DPR/MPR kembali mencuat. Menteri HAM Natalius Pigai yang melempar gagasan ini. Ia menyebutnya langkah strategis untuk memperkuat demokrasi substantif (Antara News, 2025).
Argumennya sederhana: unjuk rasa kerap bikin macet dan memicu benturan karena berlangsung di jalan raya. Maka, solusi fisiknya adalah menyediakan tempat khusus di halaman DPR. Dengan begitu, hak warga dan ketertiban umum sama-sama terjaga.
Sebenarnya ini bukan ide baru. Dulu DPR pernah mengusulkan "Alun-alun Demokrasi" dalam Rencana Strategis 2015-2019. Kapasitasnya diproyeksikan sekitar 10.000 orang, lokasinya membentang di Taman Rusa dan area parkir (detikNews, 2015).
Tujuannya sama, menampung massa besar agar tidak tumpah ke jalan.
Masalahnya, banyak pengamat meragukan efektivitas pendekatan ini. Terlihat seperti memfasilitasi, tapi bisa jadi cuma tempelan kebijakan. Peneliti Formappi menyebut ruang demonstrasi tak lebih dari aksesoris demokrasi (Kompas.com, 2025).
Akar persoalan dianggap bukan semata lokasi, melainkan watak DPR yang belum demokratis. Di sinilah logika usulannya goyah. Pigai menganggap biang keroknya adalah ketertiban umum, lalu menawarkan isolasi lokasi sebagai obat.
Ini seperti membalik sebab akibat. Kemacetan dan gesekan sering muncul karena kompleks DPR tertutup.
Ketika wakil rakyat enggan menemui massa, demonstran bertahan lebih lama, melebar ke jalan umum. Intinya menyangkut mentalitas anggota dewan. Infrastruktur fisik tidak akan mengubah mentalitas politik.
Ruang demonstrasi yang terisolasi juga berisiko mengaburkan esensi protes. Protes itu soal kekuatan publik dan visibilitas.
Jika aksi dipindahkan ke ruang tersembunyi, daya tekan politiknya memudar. Pesan tak lagi sampai ke khalayak luas, pembuat kebijakan pun merasakan tekanan yang lebih kecil.
Padahal kebebasan berpendapat dijamin Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, dan ditegaskan lagi dalam UU No. 9 Tahun 1998. Hak ini tidak boleh dipangkas dengan alasan ketertiban semata.