Setiap demonstrasi besar memang membawa risiko kericuhan. Dari sini sering muncul narasi seragam yang menempelkan cap perusuh pada massa aksi.
Label "massa rusuh" kerap dipakai penguasa (Hancox, 2024) untuk menutupi tuntutan utama. Padahal, tak sedikit provokator menyusup ke kerumunan dengan agenda lain.
Mereka punya peran kunci dalam membelokkan emosi massa hingga tujuan aksi melenceng.
Fokus awal demonstran jadi bergeser. Lalu datang gelombang perusakan dan pembakaran.
Kita masih ingat kasus Halte Sarinah pada 2020 dalam gelombang penolakan UU Cipta Kerja. Di saat seperti itu, instansi resmi sering memilih jalan cepat dengan mencari kambing hitam di antara peserta aksi.
Akibatnya, isu substansi justru tersingkir.
Kenapa strategi provokator begitu mujarab? Karena mereka paham betul psikologi massa.
Kerumunan besar mencampur banyak emosi. Ada marah, geram, jengkel. Ada juga takut dan waswas, terutama saat menghadapi kekerasan aparat.
Gas air mata, misalnya, langsung mengerek kewaspadaan. Tapi rasa takut bisa cepat memudar ketika emosi kolektif mengambil alih.
Victor Chung dan rekan membahas soal emosi kolektif. Studi mereka tahun 2023 menyebutnya konvergensi respons emosional, yaitu sinkronisasi emosi antarmanusia (Chung, Grzes, & Pacherie, 2023).
Ketakutan individu mudah luntur saat ia melihat keberanian orang lain. Di titik itu, identitas personal bisa melemah. Individu melebur ke kelompoknya dan merasa bangga menjadi bagian darinya.