Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Majalah Lentera UKSW Dibredel Setelah Bongkar Pembantaian Keji 1965?

8 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 27 September 2025   20:44 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul majalah Lentera yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera Fiskom UKSW Salatiga yang menjadi kontroversi.(scientiarum.com via Kompas.com)

Tahun 1965 menempel di ingatan Indonesia sebagai luka bersama. Pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis jadi memori yang lama ditekan.

Ceritanya dibungkam, lama sekali. Tetapi ingatan kolektif tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu pintu dibuka.

Di Salatiga, Jawa Tengah, jejaknya terasa nyata. Kota ini pernah menjadi salah satu basis massa PKI yang kuat. Tegangan politik sudah memuncak sejak Pemilu 1955.

Bakrie Wahab menjabat Wali Kota Salatiga pada 1961 sampai 1966. Ia dikenal sebagai kader PKI yang berpengaruh, posisi yang membuatnya mudah jadi sasaran provokasi. Semua itu meledak setelah Gerakan 30 September 1965.

Bakrie Wahab lalu diburu. Sejumlah pimpinan PKI lain dilaporkan menghilang sejak 4 Oktober 1965.

Sejarawan John Roosa mencatat hal penting: Bakrie Wahab tidak pernah mendukung gerakan itu. Di lapangan, massa dan simpatisan PKI memilih diam, pasif (John Roosa, 2008).

Diam saja ternyata tidak menyelamatkan. Simpatisan PKI di wilayah ini dipersekusi, banyak yang disiksa, dan sebagian dibantai tanpa proses hukum.

Sesudah G30S, wajah Salatiga berubah keras. Kota itu menjelma jadi ladang pembantaian. Gambarnya datang dari ingatan para saksi.

Harjo Sarwi, salah satunya, menyebut lokasi eksekusi berada di kebun karet dekat dusun Batur. Rumahnya nyaris berdampingan dengan tempat itu.

Ia melihat sendiri jenazah para terduga anggota PKI bergelimpangan. Warga sipil dipaksa tentara menggali kuburan massal. Para buruh ikut digerakkan untuk menggali.

Ada juga kisah Kasrowi yang membuat bulu kuduk berdiri. Ia diperintah menggali lubang di Lapangan Skeep Tengaran. Menolak perintah berarti dicap PKI. Konsekuensinya jelas, bisa berakhir seperti para korban.

Ketakutan dipakai sebagai kendali. Dan saat itu, cara ini ampuh. Skala kekerasannya luas. Tulang-belulang korban kembali ditemukan bertahun-tahun kemudian, ketika Lapangan Skeep Tengaran diratakan pada 1990.

Penemuan serupa muncul saat perbaikan saluran air di Gunung Buthak, Susukan, pada 2010. Temuan-temuan ini sejalan dengan hasil investigasi YPKP 65, yang melaporkan ratusan titik kuburan massal dan menyerahkannya ke Komnas HAM (YPKP 65).

Pada 2015, suara-suara itu kembali dicoba diangkat. Majalah Lentera milik LPM UKSW menerbitkan laporan investigasi yang berani berjudul "Salatiga Kota Merah".

Laporan tersebut merangkum kesaksian korban dan para penyintas. Bahkan juga testimoni sebagian pelaku. Lentera menaruh narasi tandingan terhadap sejarah resmi G30S/PKI.

Salah satu narasumbernya, Sutarmo, eks-tapol, membantah kebenaran film propaganda era Soeharto. Ia menegaskan tarian Harum Bunga tidak ada kaitannya dengan pembunuhan para jenderal.

Langkah jurnalistik itu memicu reaksi keras. Pada Oktober 2015, redaksi Lentera dipanggil pihak rektorat UKSW. Mereka diminta menarik seluruh 500 eksemplar.

Alasannya, kekhawatiran soal persepsi publik. Judul majalah dinilai bisa menempelkan stigma negatif bahwa Salatiga adalah "Kota PKI" (Tribunnews, 2015).

Dikhawatirkan memicu kegaduhan. Kepolisian Salatiga dilaporkan turut mengambil majalah dari salah satu agen distribusi. Redaksi juga dipanggil ke Polres Salatiga untuk diinterogasi (Persma.id, 2015).

Penarikan paksa itu menuai kecaman luas. AJI Semarang menyebut langkah tersebut melukai kebebasan berpendapat.

Dewan Pers lebih tegas lagi: tindakan polisi dinilai sebagai tindak pidana, melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 ayat 1 (Dewan Pers, 2015).

Undang-undang ini melarang segala bentuk pemberedelan, termasuk pelarangan penerbitan dan penyensoran.

Perkara ini bukan cuma soal nasib sebuah majalah. Ia memantulkan bagaimana kontrol sosial bekerja. "Hantu" anti-komunisme masih dipakai sebagai alat politik yang efektif.

Rektorat UKSW mungkin menghadapi tekanan dari luar, tapi respons AJI dan Dewan Pers jelas. Sebagai upaya mengungkap kebenaran sejarah 1965 adalah bagian sah dari kerja jurnalistik.

Kasus Lentera mengingatkan bahwa kebebasan pers di Indonesia tetap perlu dibela. Terutama ketika menyentuh isu-isu yang bertabrakan dengan narasi Orde Baru.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun