Tahun 1965 menempel di ingatan Indonesia sebagai luka bersama. Pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis jadi memori yang lama ditekan.
Ceritanya dibungkam, lama sekali. Tetapi ingatan kolektif tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu pintu dibuka.
Di Salatiga, Jawa Tengah, jejaknya terasa nyata. Kota ini pernah menjadi salah satu basis massa PKI yang kuat. Tegangan politik sudah memuncak sejak Pemilu 1955.
Bakrie Wahab menjabat Wali Kota Salatiga pada 1961 sampai 1966. Ia dikenal sebagai kader PKI yang berpengaruh, posisi yang membuatnya mudah jadi sasaran provokasi. Semua itu meledak setelah Gerakan 30 September 1965.
Bakrie Wahab lalu diburu. Sejumlah pimpinan PKI lain dilaporkan menghilang sejak 4 Oktober 1965.
Sejarawan John Roosa mencatat hal penting: Bakrie Wahab tidak pernah mendukung gerakan itu. Di lapangan, massa dan simpatisan PKI memilih diam, pasif (John Roosa, 2008).
Diam saja ternyata tidak menyelamatkan. Simpatisan PKI di wilayah ini dipersekusi, banyak yang disiksa, dan sebagian dibantai tanpa proses hukum.
Sesudah G30S, wajah Salatiga berubah keras. Kota itu menjelma jadi ladang pembantaian. Gambarnya datang dari ingatan para saksi.
Harjo Sarwi, salah satunya, menyebut lokasi eksekusi berada di kebun karet dekat dusun Batur. Rumahnya nyaris berdampingan dengan tempat itu.
Ia melihat sendiri jenazah para terduga anggota PKI bergelimpangan. Warga sipil dipaksa tentara menggali kuburan massal. Para buruh ikut digerakkan untuk menggali.
Ada juga kisah Kasrowi yang membuat bulu kuduk berdiri. Ia diperintah menggali lubang di Lapangan Skeep Tengaran. Menolak perintah berarti dicap PKI. Konsekuensinya jelas, bisa berakhir seperti para korban.