Perkara ini bukan cuma soal nasib sebuah majalah. Ia memantulkan bagaimana kontrol sosial bekerja. "Hantu" anti-komunisme masih dipakai sebagai alat politik yang efektif.
Rektorat UKSW mungkin menghadapi tekanan dari luar, tapi respons AJI dan Dewan Pers jelas. Sebagai upaya mengungkap kebenaran sejarah 1965 adalah bagian sah dari kerja jurnalistik.
Kasus Lentera mengingatkan bahwa kebebasan pers di Indonesia tetap perlu dibela. Terutama ketika menyentuh isu-isu yang bertabrakan dengan narasi Orde Baru.
***
Referensi:
- Dewan Pers. (2015). Organisasi Pers Kecam Tindakan Polisi Menarik Peredaran Majalah Lentera. Diperoleh dari Benar News: https://www.benarnews.org/indonesian/berita/pki-10192015132143.html
- Persma.id. (2015). Pimpinan Kampus Harus Jamin Kegiatan Akademik dan Kebebasan Pers Mahasiswa. Diperoleh dari Persma.id: https://www.persma.id/pimpinan-kampus-harus-jamin-kegiatan-akademik-dan-kebebasan-pers-mahasiswa/
- Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
- Tribunnews. (2015). Majalah Lentera Edisi 'Salatiga Kota Merah' Ditarik karena Buat Gaduh. Diperoleh dari Tribunnews.com: https://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/majalah-lentera-edisi-salatiga-kota-merah-ditarik-karena-buat-gaduh
- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). (n.d.). Penyintas Sudah Laporkan Temuan 138 Titik Kuburan Massal Korban 1965 ke Komnas HAM. Diperoleh dari KBR ID: https://kbr.id/articles/ragam/penyintas_sudah_laporkan_temuan_138_titik_kuburan_massal_korban_1965_ke_komnas_ham
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI