Ketakutan dipakai sebagai kendali. Dan saat itu, cara ini ampuh. Skala kekerasannya luas. Tulang-belulang korban kembali ditemukan bertahun-tahun kemudian, ketika Lapangan Skeep Tengaran diratakan pada 1990.
Penemuan serupa muncul saat perbaikan saluran air di Gunung Buthak, Susukan, pada 2010. Temuan-temuan ini sejalan dengan hasil investigasi YPKP 65, yang melaporkan ratusan titik kuburan massal dan menyerahkannya ke Komnas HAM (YPKP 65).
Pada 2015, suara-suara itu kembali dicoba diangkat. Majalah Lentera milik LPM UKSW menerbitkan laporan investigasi yang berani berjudul "Salatiga Kota Merah".
Laporan tersebut merangkum kesaksian korban dan para penyintas. Bahkan juga testimoni sebagian pelaku. Lentera menaruh narasi tandingan terhadap sejarah resmi G30S/PKI.
Salah satu narasumbernya, Sutarmo, eks-tapol, membantah kebenaran film propaganda era Soeharto. Ia menegaskan tarian Harum Bunga tidak ada kaitannya dengan pembunuhan para jenderal.
Langkah jurnalistik itu memicu reaksi keras. Pada Oktober 2015, redaksi Lentera dipanggil pihak rektorat UKSW. Mereka diminta menarik seluruh 500 eksemplar.
Alasannya, kekhawatiran soal persepsi publik. Judul majalah dinilai bisa menempelkan stigma negatif bahwa Salatiga adalah "Kota PKI" (Tribunnews, 2015).
Dikhawatirkan memicu kegaduhan. Kepolisian Salatiga dilaporkan turut mengambil majalah dari salah satu agen distribusi. Redaksi juga dipanggil ke Polres Salatiga untuk diinterogasi (Persma.id, 2015).
Penarikan paksa itu menuai kecaman luas. AJI Semarang menyebut langkah tersebut melukai kebebasan berpendapat.
Dewan Pers lebih tegas lagi: tindakan polisi dinilai sebagai tindak pidana, melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 ayat 1 (Dewan Pers, 2015).
Undang-undang ini melarang segala bentuk pemberedelan, termasuk pelarangan penerbitan dan penyensoran.