Mereka juga menyiapkan haul, peringatan wafatnya Eyang Abdul Somad.
Eyang Abdul Somad menempati posisi sentral. Beliau ulama karismatik dan leluhur Cimande.
Sosoknya menjadi patokan penting penetapan waktu Ngabungbang. Beliau wafat pada 3 Safar.
Empat puluh harinya bertepatan dengan 14 Rabiul Awal, malam puncak Ngabungbang Cimande. Karena itu, tradisi ini kerap dibaca sebagai bentuk akulturasi yang cerdas.
Ngabungbang sudah ada sebelumnya, lalu Eyang menyelaraskan haul beliau agar menyatu dengan peringatan Maulid Nabi dan ritual penyucian diri (Detikcom, 2024).
Perannya memperkuat sekaligus mengislamkan ritual lokal, tanpa menjadikannya sebagai pencipta tunggal tradisi tersebut.
Rangkaian Ngabungbang padat dan terstruktur. Ada tiga tingkatan partisipasi.
Pertama, Keturunan Kasepuhan Cimande. Mereka berpuasa tujuh hari dan membersihkan benda pusaka pada malam 14 Maulid.
Kedua, para Muhibbin atau murid silat. Mereka harus melalui Peureuhan, prosesi membasuh mata dengan air sirih yang telah dibacakan doa dari Al-Qur'an. Simbolnya jelas, pembersihan diri dari hal-hal buruk (ResearchGate).
Setelah itu barulah mereka boleh berziarah. Ketiga, masyarakat umum yang datang untuk berziarah dan ikut doa bersama.
Bagi murid silat, inti prosesi adalah Pataleqan. Ini semacam ijab kabul, sumpah janji yang terdiri dari 14 pasal.