Fajar belum sempurna di stasiun pinggiran Jabodetabek. Hidup sudah duluan bergerak. Karung-karung bersentuhan dengan gerbong KRL, bunyinya kasar.
Petani dan pedagang kecil jadi urat nadi ekonomi. Mereka membaca celah di sistem transportasi. Lalu memakainya sebaik mungkin. Pisang, singkong, jengkol. Semua diangkut menuju pasar kota.
Perjuangan ini adalah gejala logistik desa ke kota. Sistemnya belum benar-benar selesai.
KRL sejak awal bukan untuk kebutuhan mereka. Ruang kargo yang memadai pun tak ada. Waktu tempuh serba mepet dan penuh tekanan.
Tetap saja, kereta ini pilihan paling masuk akal. Alasannya sederhana, biaya rendah. Efisiensi ongkos bisa jadi penentu hidup atau tidaknya dagangan.
Dengan cara ini, mereka bisa membawa pulang bersih sekitar Rp 100.000. Jumlah yang cukup untuk bertahan. Karena itu biaya angkut harus ditekan.
Sekarang KAI menanggapi kebutuhan yang selama ini sunyi. Mereka menyiapkan Kereta Khusus Petani dan Pedagang. Rencananya meluncur pada 28 September 2025 (Kompas.com, 2025).
Gagasannya hadir di tengah sorotan pada layanan mewah. Desain keretanya dibuat berbeda.
Gerbong Kelas Ekonomi K3 dimodifikasi total. Kursi dipasang memanjang di dinding. Lorong tengah dibiarkan lapang. Jelas untuk menampung karung hasil bumi (CNN Indonesia, 2025).
KAI menyebut inspirasi dari slow train di Tiongkok. Kereta lambat yang menekankan kesejahteraan sosial.
Di Indonesia, KAI mengubah detail teknisnya. Lebar pintu bordes diperbesar. Dari 800 mm menjadi 900 mm. Sekat dan partisi juga dihilangkan (Kompas.tv, 2025).