Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manisnya Kemenangan Petani Kopi Kedu Atas Sejarah Kelam

30 September 2025   11:00 Diperbarui: 26 September 2025   16:51 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga memanen kopi Robusta di perkebunan di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (31/8/2022). (ANTARA/Anis Efizudin via Republika.co.id)

Orang mengingat Temanggung karena kopinya. Namanya besar, aromanya beda, rasanya pun khas.

Di balik itu ada cerita yang panjang. Ada bagian manis, ada juga yang pahit. Sejarah kopi di Karesidenan Kedu memang berliku, dan wilayah itu kini termasuk Temanggung.

Ini bukan sekadar urusan dagang. Ini kisah paksaan. Juga kisah tentang penderitaan yang dalam. Lalu, pelan tapi pasti, ada kemenangan yang direbut kembali.

Banyak orang mengira kopi Kedu hebat karena warisan langsung dari masa Belanda. Dulu sudah tenar, sekarang tinggal meneruskan.

Nyatanya tidak sesederhana itu. Catatan sejarah menunjukkan penanaman besar-besaran lahir dari sistem tanam paksa, Cultuurstelsel.

Petani tidak punya pilihan. Mereka dipaksa menyerahkan sebagian tanah untuk komoditas ekspor asing, demi keuntungan pemerintah kolonial (Kompas.com, 2022).

Kopi jadi komoditas utama yang dipaksakan. Petani berubah menjadi pekerja di tanah mereka sendiri.

Keuntungan manis mengalir ke Eropa, sementara petani menelan pahitnya kemiskinan. Kelaparan menjadi bagian hidup orang Kedu saat itu (Museum Kebangkitan Nasional Kemendikbudristek).

Sekarang rasanya lain. Kopi Temanggung dikenal dengan aroma tembakau yang khas, dan pasar dunia menyukainya (Good News From Indonesia, 2021).

Keunikan itu bukan rekayasa. Ia lahir dari tumpang sari. Pohon kopi tumbuh berdampingan dengan tembakau, tanaman yang juga jadi ciri wilayahnya.

Di sini tampak kreativitas petani. Mereka bukan lagi sekadar tenaga paksa. Mereka bekerja sebagai seniman di kebun sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun