Orang mengingat Temanggung karena kopinya. Namanya besar, aromanya beda, rasanya pun khas.
Di balik itu ada cerita yang panjang. Ada bagian manis, ada juga yang pahit. Sejarah kopi di Karesidenan Kedu memang berliku, dan wilayah itu kini termasuk Temanggung.
Ini bukan sekadar urusan dagang. Ini kisah paksaan. Juga kisah tentang penderitaan yang dalam. Lalu, pelan tapi pasti, ada kemenangan yang direbut kembali.
Banyak orang mengira kopi Kedu hebat karena warisan langsung dari masa Belanda. Dulu sudah tenar, sekarang tinggal meneruskan.
Nyatanya tidak sesederhana itu. Catatan sejarah menunjukkan penanaman besar-besaran lahir dari sistem tanam paksa, Cultuurstelsel.
Petani tidak punya pilihan. Mereka dipaksa menyerahkan sebagian tanah untuk komoditas ekspor asing, demi keuntungan pemerintah kolonial (Kompas.com, 2022).
Kopi jadi komoditas utama yang dipaksakan. Petani berubah menjadi pekerja di tanah mereka sendiri.
Keuntungan manis mengalir ke Eropa, sementara petani menelan pahitnya kemiskinan. Kelaparan menjadi bagian hidup orang Kedu saat itu (Museum Kebangkitan Nasional Kemendikbudristek).
Sekarang rasanya lain. Kopi Temanggung dikenal dengan aroma tembakau yang khas, dan pasar dunia menyukainya (Good News From Indonesia, 2021).
Keunikan itu bukan rekayasa. Ia lahir dari tumpang sari. Pohon kopi tumbuh berdampingan dengan tembakau, tanaman yang juga jadi ciri wilayahnya.
Di sini tampak kreativitas petani. Mereka bukan lagi sekadar tenaga paksa. Mereka bekerja sebagai seniman di kebun sendiri.