Generasi awal ini menunjukkan subkultur yang bergaul lintas kulit, dengan fokus pada musik dan gaya, bukan kebencian (Britannica, 2024).
Lalu bagaimana citra itu bisa berbelok tajam? Ada teori yang mengatakan semangat kebanggaan kulit hitam pada komunitas Jamaika "dipantulkan" menjadi kebanggaan kulit putih di sebagian skinhead.
Sekilas masuk akal, tetapi penjelasan itu terasa terlalu rapi. Latar ekonomi dan sosial punya peran yang jauh lebih besar (Journal of Contemporary History, 2021).
Inggris sedang terseok, lapangan kerja menyempit, dan kedatangan imigran dilihat sebagai ancaman. Persaingan kerja menyalakan kecemasan, lalu kecemasan mudah berubah menjadi kebencian.
Di celah itulah kelompok sayap kanan bergerak. Pada 1970 an di Inggris, khususnya British National Front, mereka melihat potensi dalam komunitas ini: anak muda yang keras, kompak, dan sedang marah (Journal of Contemporary History, 2021).
Mereka menawarkan jawaban yang mudah serta musuh yang jelas. Imigran dijadikan sasaran.
Perlahan, identitas skinhead seperti dibajak untuk kepentingan politik. Yang tadinya kebanggaan kelas pekerja berubah arah. Sebagian didorong ke rasisme dan fasisme, sebuah citra yang jauh dari semangat awal.
Tentu tidak semua tinggal diam. Banyak yang marah karena merasa identitasnya dicuri dan dikotori. Dari situ lahir perlawanan dari dalam, dengan puncaknya pembentukan SHARP, Skinheads Against Racial Prejudice, di New York pada 1986 (libcom.org, 2006).
Tujuannya jelas. Membersihkan nama skinhead dari noda rasisme dan fasisme, lalu mengembalikannya ke akar tradisional yang menghargai persatuan kelas pekerja tanpa memandang ras.
Pertarungan ideologi di tubuh komunitas ini belum selesai. Sampai sekarang, tarik ulurnya masih terasa.
***