Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Ini tidak terlihat seperti keruntuhan massal. Lebih mirip seleksi alam. Wajar di dunia bisnis.
Pasar kuliner Indonesia itu dinamis dan superkompetitif. Pilihan konsumen bejibun. Ada pemain global, regional, sampai UMKM lokal yang kreatif. Merek yang lambat beradaptasi akan tersingkir.
Adaptasinya bisa macam-macam. Menyesuaikan rasa dengan lidah lokal. Menetapkan harga yang pas. Menggarap pemasaran digital yang relevan. Mengoptimalkan layanan pesan antar.
Faktor eksternal ikut bermain, faktor internal juga tidak bisa diabaikan. Setiap brand waralaba dipegang perusahaan yang berbeda.
Strategi dan kekuatan finansialnya pun beda. Kinerja pengelola sering jadi penentu hidup-matinya merek.
Bisa saja ada problem operasional. Mungkin ekspansi terlalu agresif atau justru kurang fokus. Atau biaya sulit dikendalikan saat krisis.
Pandemi COVID-19 jelas pukulan keras. Namun krisis sering hanya mempercepat apa yang rapuh sejak awal.
Terakhir, selera konsumen memegang kendali. Preferensi berubah terus.
Dulu burger premium dianggap simbol status. Sekarang pilihan kuliner makin berwarna.
Banyak merek lokal baru muncul dengan konsep unik, harga lebih ramah. Fenomena kedai kopi juga menambah persaingan.
Mereka tidak cuma jual minuman, tapi juga suasana yang nyaman. Alhasil, sebagian porsi belanja konsumen bergeser ke sana.