Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gunung Gajah, Antara Tradisi dan Pariwisata

29 September 2025   03:00 Diperbarui: 25 September 2025   20:25 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rawa Pening dari Gunung Gajah Telomoyo.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)

Gunung Gajah Pemalang bukan cuma bongkah batu. Ia hidup, bernapas bersama warganya. Bagi Desa Gongseng, gunung ini adalah tanda yang menjejak.

Alam dan budaya bertemu di sana, saling mengikat. Mitos berjalan beriringan dengan kenyataan sehari-hari.

Tempat ini memantulkan identitas lokal yang terus bergerak, tidak berhenti di satu titik.

Banyak orang menyebutnya kisah sukses. Pariwisata melesat, ekonomi warga ikut terdongkrak. Ritual adat seperti Suronan tetap terjaga dan justru menjadi magnet utama.

Setiap tahun, pada bulan Suro, warga menggelar upacara dengan puncak ruwatan massal. Tujuannya jelas, menolak bala dan membersihkan diri.

Prosesi ini dipimpin Mbah Romo Slamet Sudoro (Suara Merdeka). Kidung Kalacakra dilantunkan, doa lama yang diyakini warisan Wali Songo, sebagai permohonan keselamatan (Kompas.com, 2023).

Tapi muncul pertanyaan yang menggelitik. Harmoni yang tampak itu sungguh-sungguh atau hanya di kulit luar?

Ketika ritual sakral ditonton banyak orang dari luar, esensinya bisa bergeser. Tradisi yang dulu murni untuk kebutuhan batin komunitas berisiko berubah menjadi tontonan untuk wisatawan.

Kesakralan perlahan pudar, tergeser oleh tuntutan komersial.

Urusan identitas lokal juga tidak sesederhana itu. Banyak yang menyebut Gunung Gajah sebagai penjaga desa, sebuah gagasan yang mengakar dalam kosmologi Jawa dan selaras dengan temuan akademik tentang gunung sebagai pusat orientasi spiritual (Dani Sunjana, 2019).

Namun apakah semua warga Gongseng, terutama generasi muda, memandangnya sama? Bisa jadi tidak. Bagi sebagian, gunung ini lebih dulu menghadirkan lapangan kerja, peluang ekonomi yang besar. Identitas, pada akhirnya, tidak tunggal dan tidak kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun