Pada abad ke-16, Sumatra jauh dari sepi. Pulau ini berdetak sebagai jantung perdagangan kawasan. Lalu lintas niaga global bergerak cepat, ditopang letaknya yang strategis di Selat Malaka.
Para pedagang datang dan pergi: dari Arab dan Persia, juga India dan Cina. Mereka menenun jaringan niaga yang rumit dan saling terhubung, lalu membuatnya makmur.
Pasai menjadi simpul ekonomi penting. Siak pun demikian. Kedua pusat ini hidup nyaris tanpa henti.
Komoditas bernilai tinggi mengalir dari berbagai penjuru. Lada dan emas adalah contoh paling menonjol. Emas diangkat dari pedalaman Minangkabau. Kapur barus tak kalah mahal.
Semua hasil itu turun ke pesisir, singgah di pelabuhan, lalu berlayar menembus samudra. Tujuannya luas, dari satu pasar ke pasar lain di berbagai belahan dunia.
Tatanan ekonominya rapi dan teratur. Ritme dagangnya sudah mapan dan bertahan lama. Singkatnya, Nusantara berperan sebagai poros rempah dunia (Kemdikbud).
Keseimbangan ini pelan-pelan retak. Penyebabnya kapal-kapal dari negeri yang jauh. Orang Portugis tiba pada masa penjelajahan Eropa, sebuah era pelayaran besar yang digerakkan oleh ambisi kekayaan, kejayaan, dan penyebaran keyakinan.
Mereka datang membawa teknologi pelayaran yang lebih maju, persenjataan yang mumpuni, dan informasi dari para penjelajah. Salah satu sumbernya adalah diplomat Tom Pires, penulis The Suma Oriental, yang menggambarkan Sumatra sebagai wilayah eksotis dan kaya raya, sebagaimana tercatat dalam Britannica.
Bagi mereka, inilah "dunia baru" yang harus dipetakan, dengan kerajaan-kerajaan yang layak dicatat, dan sumber daya yang siap dieksploitasi.
Bagi kerajaan-kerajaan di Sumatra, kedatangan Portugis bukan kabar baik. Mereka bukan sekadar mitra dagang. Kerja sama pun sulit terwujud. Armada Portugis datang bersama meriam dan ambisi untuk mendominasi.
Tujuan mereka bukan hanya berdagang, tetapi memonopoli. Perebutan Malaka pada 1511 menunjukkan arah yang terang. Mereka ingin menguasai jalur rempah menuju Eropa, memotong arus pedagang Muslim dan juga pedagang Venesia.