Emma Poeradiredja bukan nama sembarang. Ia salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan Indonesia, dikenal sebagai penggerak perempuan Sunda (Kompas.id, 2021).
Perannya tidak kecil. Ia mendirikan Pasundan Istri, sebuah organisasi yang membawa perubahan besar di tengah masyarakat yang masih patriarkal (Historia.id, 2018).
Masalahnya, kisah pahlawan sering dibuat sederhana. Cerita yang rapi cenderung merapikan hal yang sebenarnya rumit.
Bisa jadi narasi tentang Emma juga begitu. Karena itu, kita perlu melihat kiprahnya secara kritis. Bukan untuk mengecilkan jasanya, tentu. Justru agar kita menangkap perjuangannya secara utuh dan terasa lebih dekat.
Gerakan sosial sebesar itu jarang lahir dari satu orang saja. Jika fokus hanya pada Emma, risikonya jelas. Kita mudah lupa pada para tokoh lain yang bekerja bersama. Emma mendirikan Pasundan Istri bersama kawan seperjuangan yang sama tangguhnya (Poeradiredja, 1976).
Bagaimana mereka membagi peran. Apa sumbangan spesifik masing-masing. Pasundan Istri berdiri sebagai monumen kerja kolektif.
Kekuatan utamanya terletak pada kebersamaan, bukan semata pada figur tunggal. Mengingat hal ini penting dalam penulisan sejarah, supaya sejarah menjadi milik bersama, bukan milik pahlawan versi media saja (Suryochondro, 2010).
Kisah perjuangan biasanya menyorot keberhasilan. Kita tahu Emma mendirikan organisasi yang kemudian punya banyak cabang. Ia juga sukses duduk di dewan, terpilih di Bandung pada 1938. Prestasi yang luar biasa, ya (Historia.id, 2018).
Tetapi seperti apa medan nyata di lapangan. Apakah program selalu mulus. Benarkah tidak ada penolakan masyarakat.
Rintangan besar hampir pasti ada. Bisa dari pemerintah kolonial Belanda. Bisa juga dari komunitas Sunda sendiri yang masih berpegang pada nilai konservatif.
Kegagalan dan konflik itu wajar dalam organisasi. Menyimak sisi ini membuat cerita terasa lebih nyata. Perjuangan mereka hidup kembali, lengkap dengan jatuh bangunnya.