Keseimbangan kerja dan hidup sudah lama jadi bahan obrolan. Orang menyebutnya work-life balance, dan sering dianggap tujuan ideal.
Lalu datang pandemi, prioritas banyak orang bergeser. Mereka menata ulang hidup. Di telinga, konsep ini terdengar sangat positif.
Siapa sih yang tidak ingin punya waktu luang? Ingin lebih banyak waktu bersama keluarga, tetap bisa menyalurkan hobi, dan istirahat yang layak.
Kedengarannya sederhana. Nyatanya tidak. Gagasannya rumit, banyak lapisannya, dan butuh kita kupas lebih dalam.
Pertanyaan utamanya begini. Siapa yang benar-benar bisa menikmati "kemewahan" ini?
Data memberi jawaban yang cukup menohok. Pekerja dengan pendapatan tinggi lebih sering mengurangi jam kerja. Pekerja berpendapatan rendah justru bekerja lebih lama, sering tanpa pilihan lain. Analisis Brookings Institution pada 2023 mencatat pola tersebut.
Setelah pandemi, ada pergeseran besar. Kelompok berupah tinggi memangkas jam kerja, sementara kelompok lain tidak punya ruang gerak yang sama.
Pahit, tapi ini menegaskan kenyataan penting. Bagi banyak orang, keseimbangan kerja hanyalah impian. Ia lebih mirip hak istimewa, bukan hak yang otomatis dimiliki semua pekerja.
Kita juga perlu menguji asumsi tentang perusahaan. Organisasi dituntut beradaptasi dengan Generasi Z.
Ekspektasinya berbeda. Mereka ingin fleksibilitas dan lingkungan kerja yang sehat. Survei Deloitte tahun 2023 menunjukkan hal itu.
Keseimbangan hidup menjadi faktor penentu. Laporan Gallup pada 2022 menguatkan gambaran yang sama.