Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prostitusi Pantura Lebih dari Sekedar Kemiskinan

26 September 2025   19:00 Diperbarui: 22 September 2025   13:19 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belasan PSK dan 1 lelaki hidung belang yang terjaring operasi Satpol PP menunggu proses Pengadilan tipiring. (Baktiawan Candheki via Kompas.com)

Jalur Pantura itu keras. Panasnya menyengat, bisingnya tidak ada jeda. Hidup di sana seperti adu cepat.

Jalan ini menyimpan banyak cerita tentang bertahan hidup. Salah satunya soal prostitusi.

Orang sering membahasnya pelan-pelan, seolah rahasia umum. Banyak yang langsung mengaitkannya dengan kemiskinan.

Logikanya sederhana. Butuh uang untuk makan, lalu menjual tubuh karena itu satu-satunya aset yang ada.

Pandangan itu tidak keliru, tapi berhenti di situ membuat kita kehilangan gambaran utuh.

Ini bukan semata soal ekonomi. Hidup jarang sesederhana itu.

Kemiskinan di Pantura nyata dan menekan warga, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus (Kompas.id, 2023).

Kondisi keluarga nelayan sering lebih berat. Pendapatan naik turun, cuaca makin sulit ditebak, banjir rob berulang, mereka tak bisa melaut, sumber nafkah pun terpukul (Mongabay Indonesia, 2023).

Tetapi tidak semua yang miskin lantas memilih jalur ini. Fakta itu sendiri sudah berbicara.

Ada faktor lain yang ikut main, sering lebih gelap dan tersembunyi. Kita jarang menengok ke sana.

Ada jaringan kejahatan yang rapi, makelar atau calo yang aktif merekrut, preman yang kabarnya melindungi sekaligus memeras. Banyak perempuan bukan sekadar "memilih", mereka sudah terjebak.

Utang menjerat, ancaman membayangi, pintu keluar terasa tidak ada. Pada titik ini, sulit menyebutnya pilihan bebas. Yang terjadi adalah eksploitasi yang sistematis (Kompas.id, 2023).

Ada hal lain yang kerap timpang. Yaitu cara kita bercerita. Perbincangan publik sering terpaku pada para perempuan.

Latar belakang mereka dibedah, penderitaan mereka disorot. Sisi lain jarang disentuh, padahal sama penting: para pelanggan.

Siapa mereka? Kenapa permintaan begitu tinggi dan seolah tidak habis? Sopir truk yang kesepian di jalan? Lelaki lokal yang menganggapnya hal biasa?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak nyaman, namun tanpa membahasnya, kita hanya melihat separuh dari persoalan (Detik.com, 2022).

Selama permintaan terus ada, penawaran akan mengikuti. Hukum pasar, sederhana sekali.

Masalahnya, masyarakat sering sungkan membicarakan sisi permintaan. Media pun kadang enggan.

Mungkin karena akan membuka aib dan mengguncang kenyamanan. Ini menyentuh cara sebagian pria memandang perempuan dan seks.

Kalau kita tidak berani menamai siapa pembelinya, pembahasan kita akan selalu timpang, hanya setengah cerita (Detik.com, 2022).

Cara bertutur juga perlu hati-hati. Ada narasi yang tanpa sadar meromantisasi keadaan, misalnya menyebut "gadis manis" yang berkorban demi keluarga.

Kedengarannya puitis, tapi justru berbahaya. Tidak ada yang manis dari eksploitasi (BBC Indonesia, 2024).

Di belakangnya ada kekerasan, tipu daya, dan risiko penyakit menular yang tinggi, termasuk ancaman nyata HIV/AIDS (Repository Syekhnurjati, 2018).

Ini bukan drama pengorbanan. Ini krisis kemanusiaan.

Pemerintah sudah berulang kali melakukan penertiban. Ada razia, ada penangkapan. Namun praktiknya tetap bertahan, bahkan makin terdesak ke ruang-ruang yang lebih tersembunyi, dan karena itu lebih berbahaya (Detik.com, 2022).

Ini menunjukkan pendekatan sapu bersih tidak menyentuh akar. Soalnya bukan semata warung di pinggir jalan.

Akar masalahnya ada pada minimnya pekerjaan layak, rendahnya tingkat pendidikan, serta sistem perlindungan sosial yang belum menjangkau mereka yang paling rentan. S

elama titik-titik itu tidak dibenahi, razia hanya jadi tontonan sesaat. Masalahnya akan kembali, mungkin dengan wajah yang berbeda.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun