Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Occupy Wall Street: Gagal di Politik, Sukses di Budaya

26 September 2025   05:00 Diperbarui: 22 September 2025   10:31 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slogan 99 persen yang menjadi ikon kelompok Occupy Wall Street melawan ketidakadilan dalam sistem kapitalisme.(PAUL STEIN/FLICKR via Kompas.com)

Bagi banyak aktivis, pilihan itu dianggap kekuatan. Tanpa tuntutan spesifik, gerakan terasa inklusif.

Siapa saja bisa ikut, sementara fokus diarahkan ke akar persoalan, yaitu ketidakadilan sistemik.

Masalahnya, waktu berjalan dan pilihan itu berbalik menggigit. Inilah titik lemah yang belakangan sering dibahas.

The Atlantic pada 2012 mencatat bagaimana media dan politisi berulang kali bertanya, “Sebenarnya kalian mau apa?” Tidak pernah ada satu jawaban yang tegas. Akibatnya, pemerintah dan para pembuat kebijakan punya alasan nyaman untuk tak bergerak.

Energi protes yang awalnya besar pelan-pelan kehilangan momentum. Tanpa tujuan konkret, mempertahankan relevansi menjadi susah. Kamp bubar, sementara sistem tetap seperti sedia kala.

Ada pula romantisasi tentang komunitas yang sangat inklusif tanpa pemimpin. Sebuah laboratorium sosial tempat semua suara setara.

Realitasnya, komunitas tanpa struktur formal membawa tantangannya sendiri. Forum Majelis Umum memakai konsensus, dan prosesnya sering berjalan lambat serta tidak efisien.

Kelompok yang paling vokal atau paling terorganisir kerap mendominasi arah pembicaraan. Konflik internal bermunculan, sebagian menyangkut isu ras dan gender, sebagian lagi soal keamanan di perkemahan.

Gambaran demokrasi langsung yang mulus menutupi gesekan keras, perdebatan panjang, bahkan perpecahan di belakang layar.

Namun menutup buku dengan label “gagal total” juga gegabah. Mungkin kita yang keliru memakai tolok ukur.

Kalau ukurannya perubahan undang-undang, pencapaiannya memang tipis. Tapi kalau kita menilai dari pengaruh budaya, ceritanya lain sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun