Gerakan Occupy Wall Street sering dipuja. Banyak yang mengingatnya sebagai kisah heroik yang nyaris sempurna.
Narasinya gampang menyebar. Cerita tentang rakyat kecil yang bangkit menantang kaum kaya serakah.
Slogan “Kami adalah 99 persen” menempel di kepala. Ia jadi simbol perlawanan yang terasa kuat di banyak negara.
Seolah-olah mewakili semua suara rakyat yang ditindas oleh sistem yang rusak. Gambarannya rapi, mudah dicerna, dan nyaman dipercaya.
Tapi kalau kita kupas pelan-pelan, ceritanya tidak sesederhana itu. Aslinya jauh lebih berlapis, penuh nuansa abu-abu, dan bagian ini jarang diomongkan.
Mulai dari pertanyaan dasar, siapa sebenarnya para pengunjuk rasa itu? Mereka memang berkemah di Zuccotti Park.
Banyak orang membayangkan mereka kaum miskin kota, para pekerja yang baru di-PHK, atau keluarga yang kehilangan rumah. Kenyataannya lebih rumit. Berbagai survei waktu itu memberi gambaran lain.
Studi CUNY pada 2011, misalnya, menunjukkan temuan penting: mayoritas peserta berpendidikan tinggi, banyak yang bergelar sarjana, bahkan lebih.
Kebanyakan berasal dari keluarga kelas menengah. Mereka tentu merasakan dampak krisis dan cemas soal masa depan. Hanya saja, mereka bukan kelompok yang paling rentan.
Fakta ini tidak menihilkan nilai protes, tetapi meluruskan narasi yang terlanjur mapan tentang suara kaum paling tertindas.
Lalu soal strategi. Gerakan ini sengaja tidak menyusun daftar tuntutan yang jelas.