Kecerdasan buatan memicu perdebatan di banyak negara. Isunya panas bukan main.
Orang membahasnya di ruang rapat, di media, juga di warung kopi. Nada yang terdengar campur aduk, cemas sekaligus berharap.
Tapi obrolannya sering terjebak pada dua kutub saja. AI akan menghapus banyak pekerjaan, atau justru membuka lowongan baru.
Kenyataannya lebih ruwet dari itu. Ini bukan sekadar manusia lawan mesin. Ini tentang bagaimana cara kita bekerja, berkarya, dan menilai sebuah keahlian ikut bergeser.
Di negara maju, dampaknya sudah terasa. Lihat Amerika Serikat. Berbagai laporan media menunjukkan hal yang jelas.
Ribuan orang kehilangan pekerjaan setelah perusahaan menerapkan AI (CBS News, 2024). Perusahaan besar bergerak cepat mengejar efisiensi. Mengotomatisasi banyak proses.
Tugas administratif mulai dialihkan ke sistem. Peran kreatif tingkat awal pun ikut tersisih.
Algoritma bekerja jauh lebih cepat dengan biaya lebih rendah. Wajar kalau kegelisahan merebak. Banyak pekerja khawatir masa depannya digulung gelombang teknologi baru.
Menariknya, cerita yang terdengar di Indonesia justru berbeda.
Di tengah kecemasan global, banyak pekerja di sini cenderung optimis. Bahkan tinggi sekali tingkat optimisnya.
Mayoritas tidak melihat AI sebagai ancaman utama, melainkan peluang. Mereka percaya AI bisa mendongkrak produktivitas dan membuka jalan untuk belajar keterampilan baru yang relevan. Temuan ini muncul dalam survei “Hopes and Fears” (PwC Indonesia, 2024).