Belakangan ini ada satu strategi pemasaran yang lagi naik daun di banyak negara: shoppertainment. Intinya sederhana, belanja dipadukan dengan hiburan.
Tujuan utamanya juga tidak rumit. Bikin orang merasa senang saat melihat produk. Dengan harapan rasa senang itu berakhir pada pembelian.
Masuk akal, kan? Banyak orang tidak suka dipaksa membeli. Tapi hampir semua orang suka dihibur.
Sebenarnya konsep ini bukan barang baru. Hanya saja, momennya kembali pas di era digital.
Platform seperti TikTok mengubah kebiasaan belanja dan konsumsi konten. Instagram ikut menggeser cara merek berinteraksi.
Ada laporan dari Boston Consulting Group yang membahas potensi shoppertainment. Nilainya diproyeksikan jadi pasar triliunan dolar di kawasan Asia Pasifik saja (Boston Consulting Group, 2022).
Banyak yang menyebut ini sebagai masa depan e-commerce karena konten, budaya, dan penjualan diramu jadi satu. Promosi keras terasa kuno. Sementara konsumen modern dianggap makin cerdas.
Mereka tidak mau dibujuk terang-terangan, jadi hiburan masuk sebagai jembatan. Bentuknya macam-macam. Siaran langsung yang kocak. Ulasan produk yang lebih jujur. Sampai video pendek yang memikat. Semua dibuat supaya calon pembeli betah.
Di Indonesia, tren ini relevan. Laporan Digital 2024 dari We Are Social menunjukkan data yang menguatkan.
Sekitar 79,5% pengguna internet memakai media sosial untuk mencari informasi tentang merek (We Are Social, 2024). Angka ini bilang satu hal penting.
Audiens di sini sudah terbiasa menerima konten merek di platform hiburan. Merek pun berharap bisa membangun kedekatan emosional lewat konten-konten itu.