Manusia, dari dulu sampai sekarang, selalu mengejar satu hal: merasa bahagia. Wajar saja, itu terdengar seperti tujuan hidup yang masuk akal.
Bedanya, di era modern, pencarian ini sering diberi peringkat. Setiap tahun ada saja berita tentang negara paling bahagia, dan Finlandia hampir selalu disebut di urutan teratas menurut World Happiness Report.
Di sisi lain, ada temuan lain yang tak kalah menarik: Gallup pada 2024 mencatat masyarakat Indonesia sebagai pemilik pengalaman positif harian tertinggi.
Kedengarannya membanggakan. Tapi ada baiknya kita tarik napas dulu dan bertanya: apa kebahagiaan benar bisa diukur sesederhana itu? Bisakah angka mewakili perasaan jutaan orang?
Di lapangan, mengukur bahagia itu pelik. Urusannya jadi makin ruwet karena alat ukurnya tidak selalu sama.
Inilah sumber biasnya. Peringkat negara bahagia sering membingungkan karena metodenya berbeda-beda. Ambil contoh World Happiness Report.
Finlandia berada di puncak karena mereka memakai Tangga Cantril. Responden diminta membayangkan sebuah tangga kehidupan berskala 0 sampai 10.
Angka 10 berarti hidup terbaik. Lalu mereka menilai posisi diri mereka di tangga itu (penjelasan ada di FAQ World Happiness Report). Ini pada dasarnya mengukur kepuasan hidup jangka panjang.
Gallup melakukan hal lain. Laporan yang menyoroti Indonesia tadi tidak menanyakan kepuasan hidup, melainkan pengalaman emosional sehari-hari. Pertanyaannya spesifik dan dekat dengan keseharian: "Kemarin Anda sempat tersenyum?" atau "Anda merasa dihormati?" (mengacu pada pertanyaan Gallup).
Membandingkan kedua hasil ini ibarat menilai pondasi rumah lalu disandingkan dengan pilihan warna catnya. Dua-duanya penting, tapi jelas bukan hal yang sama.
Kalau kita mengintip kasus Finlandia lebih dekat, gambarnya makin berlapis. Di balik citra tenang, ada kenyataan lain.