Tubuhnya masih bersama kita, tapi ingatan memudar, kepribadian berubah. Kita merasa kehilangan orang yang kita kenal. Padahal ia masih duduk di samping kita.
Perpisahan terjadi perlahan, berulang, setiap hari.
Kehilangan ambigu juga muncul dalam banyak situasi lain. Pasangan yang mengalami keguguran merasakannya, sebab mereka berduka atas anak yang belum sempat ditemui.
Ada pula duka ketika tak kunjung memiliki anak, kehilangan atas sebuah harapan yang lama dipegang.
Lingkungan kerap bingung merespons duka seperti ini. Tak ada ucapan belasungkawa yang baku. Tak ada pengakuan sosial yang jelas.
Akibatnya banyak orang menjalani duka ini sendirian.
Lalu bagaimana bertahan di tengah ketidakpastian yang terus menyala? Dr. Boss bukan hanya menjelaskan masalahnya, ia juga menawarkan cara membangun ketahanan, yang dibahas antara lain di Psychology Today.
Kuncinya bukan menyingkirkan ketidakpastian, karena itu mustahil. Kuncinya belajar hidup berdampingan dengannya.
Ini butuh penerimaan terhadap dua hal yang berjalan bersama. Kita mengakui orang tercinta bisa saja sudah pergi, tetapi juga bisa terasa hadir pada saat yang sama.
Keluarga didorong untuk menyesuaikan diri. Membentuk ritual baru dari hari ke hari. Dan mencari makna di tengah situasi yang menggantung. Bukan mengejar jawaban yang pasti.
Duka seperti ini perlu kita akui sebagai nyata dan sah. Kehilangan tanpa kejelasan membawa beban psikologis yang berat.