Bahasa sering tampil dengan dua wajah yang kontras. Satu memancarkan kesantunan dan kehalusan budi. Satu lagi bekerja sebagai tirai yang menutup kenyataan pahit.
Inilah wilayah eufemisme, seni menghaluskan kata, dengan tujuan yang bisa beragam. Kadang untuk kebaikan, kadang menyimpan maksud tersembunyi.
Di panggung politik, eufemisme adalah alat yang sudah lama dipakai. Penguasa memanfaatkannya untuk membentuk persepsi publik. Jejaknya terasa kuat di era Orde Baru, saat bahasa menjadi instrumen kekuasaan (Kompas.id, 2022).
Istilah "penyesuaian harga" didengungkan agar terdengar nyaman, padahal maknanya kenaikan yang memberatkan kebutuhan pokok. Pola serupa hidup di korporasi modern.Â
Pengumuman "restrukturisasi" atau "efisiensi" oleh karyawan kerap dibaca sebagai ancaman gelombang PHK (CNBC Indonesia, 2023).
Menganggap masyarakat sekadar korban pasif jelas keliru. Banyak orang sekarang peka terhadap tanda-tandanya. Begitu muncul istilah manis dari pemerintah atau korporasi, kecurigaan langsung menyala.
Publik aktif mencari makna sebenarnya di balik jargon itu. Karena itu, eufemisme tidak selalu sukses menipu. Ia justru bisa memantik sikap kritis, semacam kewaspadaan kolektif.
Penggunaan bahasa halus juga punya akar budaya yang dalam. Di Indonesia, kesopanan dan tenggang rasa dijaga sebagai kearifan.
Ini baik, tetapi rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Topeng kesantunan dapat menutupi kebijakan yang tidak populer, membangun citra seolah peduli dan bijaksana, sementara kenyataannya bisa jauh berbeda.
Menariknya, eufemisme bukan monopoli elite. Di era digital yang serbaterhubung, warga biasa pun menjadi pemain aktif.
Mereka mencipta istilah-istilah cerdik di media sosial, dikenal sebagai algospeak, untuk mengakali sensor algoritma platform (VOA Indonesia, 2022). Ini bentuk perlawanan kreatif melalui bahasa.